Pakar: Pelabelan Bebas Etilen Glikol Harus Lebih Diutamakan BPOM

Larangan penggunaan obat sirup
Sumber :
  • VIVA/ David Rorimpandey

VIVA Lifestyle - Guru Besar Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara dan pakar hukum persaingan usaha, Prof. Dr. Ningrum Natasya Sirait, SH. M.Li, mengatakan beban yang harus ditanggung masyarakat dan industri yang terpukul akibat pandemi COVID-19 masih sangat berat. 

Migrasi BPA di Galon Guna Ulang Sangat Kecil, BRIN: Kalau Cuma Terjemur Sinar Matahari Masih Aman

Karenanya, pemerintah perlu berhati-hati dalam membuat regulasi agar tidak merugikan masyarakat. Menurutnya, setiap regulasi yang dibuat pemerintah itu seharusnya melihat juga urgensi dan dampaknya bagi masyarakat dan industri. Bagi industri, kepastian hukum sangatlah penting. Scroll untuk info selengkapnya

"Dunia ini sangat dinamis, pandemi kemarin membikin semua orang kolaps. Orang persaingan seperti saya, simpel sekali melihatnya, apakah itu (peraturan) akan menjadi burden baru atau beban baru, yang harus dihitung balance atau ekuivalensinya," ujar Ningrum pada  acara talkshow bertema 'Kasus Etilen Glikol, Pelabelan Kemasan Tidak Boleh Diskriminatif,' yang digelar baru-baru ini. 

Bahaya BPA Ditegaskan Bukan soal Bisnis, Tapi Ancam Kesehatan Konsumen

Dia menegaskan bahwa dunia industri dan dunia persaingan itu sangat ditentukan oleh regulasi yang dikeluarkan apakah akan menambah beban atau tidak.

Ilustrasi BPOM

Photo :
  • VIVA/ David Rorimpandey
Dokter Tirta Bedah Soal Bahaya BPA dalam Galon, Hoax atau Nyata?

"Jadi, kalau peraturan yang dibuat BPOM (Badan Pengawas Obat dan Makanan) itu bersifat diskriminatif, itu hanya menguntungkan satu pelaku usaha dan pasti akan menyebabkan keributan. Jangan gitu dong, level playing field-nya mesti sama,” ujarnya.

Menurut Ningrum, kalau ada yang sifatnya diskriminatif dan mematikan satu dunia usaha atau satu pelaku usaha tertentu seperti peraturan pelabelan BPA yang hanya dikenakan pada galon guna ulang, itu bisa di-judicial review peraturannya. 

“Apalagi dalam suasana yang sensitif seperti ini. Kita baru saja pandemi, ekonomi berantakan, memang nggak ada prioritas lain yang bisa dikerjakan BPOM yang lebih memastikan masyarakat kita lebih aman. Nggak usah diurusilah yang printilan-printilan seperti pelabelan BPA. Kecuali ada interest tertentu,” tukasnya. 

Karenanya, Ningrum meminta agar BPOM tidak mengeluarkan peraturan tanpa memikirkan aspek holistik dari seluruh stakeholder, bukan mau membela sepihak. Menurut Undang Undang No 12/2012, peraturan yang kredibel harus melalui penyusunan naskah akademik dan uji publik yang melibatkan semua stakeholder terdampak.

Di berbagai belahan dunia, kata Ningrum, setiap kali ingin membuat peraturan, pasti dia harus menghitung dulu regulatory impact assessment (RIA).

Konferensi pers BPOM terkait obat sirup yang mengandung EG dan DEG

Photo :
  • VIVA/Yandi Deslatama (Serang)

"Kalau aku keluarkan ini peraturan, siapa yang terkena dampaknya. Saya bukan apriori, saya respek sekali kepada BPOM. Tapi bagi saya, sebenarnya nggak tertarik soal pelabelan BPA galon guna ulang ketimbang harus mengurus musibah sirup obat batuk yang menyebabkan banyak anak meninggal,” tambahnya. 

Dalam diskusi ini, Ningrum juga mempertanyakan prioritas kerja Kepala Badan Pengawas Obat dan Makanan (BPOM), Penny K. Lukito, yang beberapa waktu lalu gencar mengupayakan pelabelan BPA pada galon guna ulang. Kini merebak kasus yang mengagetkan masyarakat terkait kematian ratusan pasien gagal ginjal akut yang kebanyakan adalah anak-anak yang diduga terkait dengan cemaran etilen glikol dan dietilen glikol pada sirup obat batuk. 

Apalagi, katanya, Kepala BPOM seolah lepas tanggung jawab dalam menyikapi kejadian yang seharusnya menjadi perhatian utamanya sebagai lembaga pengawas obat dan makanan. 

"Kejadian pada sirup obat batuk ini bukan hanya warning tapi betul-betul peringatan bagi BPOM. Sudah berjatuhan korban dan sudah ribut. Saya sangat tidak sepakat Kepala BPOM mengatakan bukan hanya tanggung jawabnya tapi melemparkan juga kepada industri. Kalau saya di situ (BPOM), nggak mungkin anak buah saya yang rusak, pasti jenderalnya yang mesti tanggung jawab,” ujarnya.

Dia melihat BPOM seolah tidak memerhatikan mana kebijakan yang harus diatur buru-buru dan mana yang tidak. Ningrum mengatakan soal pelabelan BPA pada galon guna ulang ini bukanlah kebijakan yang harus dilakukan terburu-buru mengingat belum ada kejadian orang meninggal karena mengonsumsi air minumnya. Menurutnya, yang harus diutamakan BPOM itu justru pelabelan bebas etilen glikol pada kemasan yang mengandung zat kimia yang telah menyebabkan banyak anak meninggal dunia. 

"Ini sudah jelas-jelas ada bukti bahayanya ketimbang air minum kemasan galon guna ulang. Para ahlinya juga masih ada dispute soal BPA galon guna ulang ini berbahaya atau tidak. Jadi, saya cuma punya pesan, berhati-hatilah untuk lembaga-lembaga negara yang punya kewenangan ini," tuturnya. 

Ilustrasi BPA.

Photo :
  • Pixabay.

"Nggak bisa hanya memikirkan dari satu aspek saja, nggak bisa dari hanya misalnya kesehatan, hanya teknologi, hanya peringatan ini, pikirin dong yang lain-lain. Makanya KPPU itu punya yang namanya check list," sambung dia. 
 
Pada acara diskusi bertajuk 'Urgensi Pelabelan BPA Galon Guna Ulang', Dewan Pakar Ikatan Ahli Kesehatan Masyarakat Indonesia (IAKMI), Hermawan Saputra, menyampaikan dari sudut kesehatan masyarakat bahwa isu kesehatan masyarakat harus melihat evidence base-nya.

“Untuk BPA ini, dari kasus konsumsi kami belum melihat evidence base atau fenomena dan fakta yang cukup dan berdampak luas di masyarakat. Apabila ada isu zat ini berbahaya khususnya di pangan, maka kendalinya ada diproduksi dan didistribusi bukan di labelnya. Ini tidak bisa coba-coba," ujar Hermawan 

Ia menegaskan bahwa pelabelan ini menjadi tidak efektif karena unsur pelabelan itu masuk ke dalam kendali perilaku dan bukan pada substansi yang seharusnya sudah dikendalikan pada saat produksi.

Halaman Selanjutnya
Halaman Selanjutnya