Gangguan Ginjal Akut Maut, Pakar: Ada Masalah Pengawasan Obat dan Makanan di RI

Ilustrasi ginjal
Sumber :
  • times of india

VIVA Lifestyle – Gangguan ginjal akut yang memakan korban, khususnya dialami anak-anak usia bawah lima tahun, tentu menjadi hal yang sangat miris bagi masyarakat Indonesia. Penyebab penyakit ini diklaim berasal dari obat sirup dengan cemaran bahan kimia berbahaya yang membuat pakar kesehatan menduga ada masalah di pengawasan obat dan makanan.

Bahaya BPA Ditegaskan Bukan soal Bisnis, Tapi Ancam Kesehatan Konsumen

Menteri Kesehatan Budi Gunadi Sadikin sebelumnya sudah mengonfirmasi bahwa penyebab gangguan ginjal akut tersebut berasal dari cemaran ethylene glycol (EG), diethylene glycol (DEG), dan ethylene glycol butyl ether (EGBE).

Di sisi lain, Badan Pengawas Obat dan Makanan (BPOM) RI merasa bahwa keamanan produk seharusnya tanggungjawab dari pihak industri farmasi. Yuk lanjut scroll artikel selengkapnya berikut ini.

Perkuat Sinergi, Bea Cukai Bahas Pengawasan Impor Obat dan Makanan dengan BPOM dan Asperindo

Dekan Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, Prof. Dr. dr. Ari Fahrial Syam, SpPD-KGEH, MMB, mengatakan bahwa pemerintah sebaiknya terus memberikan informasi baru terkait gangguan ginjal akut, khususnya BPOM.

Terlebih, Prof Ari mengapresiasi upaya BPOM yang sudah berupaya menemukan cemaran bahan kimia dan diungkap dalam obat-obatan yang sudah disampaikan sebelumnya.

Dokter Tirta Bedah Soal Bahaya BPA dalam Galon, Hoax atau Nyata?

Polres Metro Jakarta Utara akan libatkan tim dari BPOM terkait kasus obat kedaluwarsa (Foto ilustrasi)

Photo :
  • VIVA.co.id/Ikhwan Yanuar

"Terpenting juga adalah obat-obat yang dicurigai menyebabkan gagal ginjal akut pada pasien-pasien tersebut. Jadi tentu ketika dilakukan pemeriksaan pada pasien dan ada riwayat tentu, ditanya orangtua, riwayat penggunaan obat-obat sirup, tentu sirup itu harus dikejar," ujar Prof Ari pada VIVA.

Menurut Prof Ari, penyebab gangguan ginjal akut saat ini diduga kuat terkait dengan obat sirup cemaran bahan kimia. Maka dari itu, sudah seharusnya pengawasan dari pemerintah diperketat untuk penjualan suatu produk sebelum diedarkan.

"Selain pertama kali ketika obat itu diizinkan beredar, tentu setelahnya itu adalah pengawasan dilakukan," tuturnya.

Polisi dan BPOM Sidak Obat Kedaluwarsa

Photo :
  • VIVA.co.id/Ikhwan Yanuar

Prof Ari meyakini bahwa dari pihak pemerintah, khususnya BPOM, sudah berupaya melakukan pemeriksaan rutin. Sama halnya ketika BPOM menemukan bahan kimia berbahaya di obat-obat herbal sebelumnya.

Namun tak dipungkiri, adanya kelemahan sistem pengawasan obat yang seolah kecolongan sehingga nyawa anak-anak pun terancam.

"Di satu sisi kita tahu bahwa dugaan adanya obat yang dikonsumsi anak-anak ini ada EG ini adalah suatu bukti bahwa ada suatu masalah di dalam pengawasan obat dan makanan di Indonesia ini," tuturnya.

Lebih dalam, Prof Ari mengimbau agar produsen atau industri farmasi pun memperbaiki dan menjaga kualitas produknya. Perlu komitmen dan kerjasama semua pihak agar pengawasan obat bisa lebih baik sehingga anak-anak dan generasi selanjutnya bisa menjalani hidup lebih baik.

"Bisa saja hal ini tidak sengaja dari produsen apalagi mereka sudah punya nama. Di dalam produksi obat tersebut walau produsen sudah punya CPOB (cara pembuatan obat yang benar) sudah diakui, punya kemampuan untuk buat obat sesuai ketentuan tapi komitmen dari industri tentu harus menjaga obat tersebut dalam keadaan baik dan aman untuk masyarakat," jelasnya.

Sebelumnya diberitakan VIVA, Badan Pengawas Obat dan Makanan (BPOM) membantah klaim 'kecolongan' bahan baku obat sirup yang kini terbukti mengandung ethylene glycol (EG), diethylene glycol (DEG), dan ethylene glycol butyl ether (EGBE).

Inspektur Utama BPOM Elin Herlina dengan tegas mengatakan bahwa tugas keamanan tersebut seharusnya menjadi tanggungjawab perusahaan farmasi.

"Kenapa di shifting ke industri farmasi ini adalah sesuai dengan ketentuannya yang bertanggungjawab terhadap keamanan, mutu dan khasiat obat itu adalah industri farmasi," kata Elin dalam konferensi pers Kementerian Kesehatan RI, Jumat 21 Oktober 2022.

Elin melanjutkan bahwa jaminan keamanan melalui pengujian obat, juga menjadi tanggungjawab perusahaan.

Maka, dalam percepatan penelusuran obat yang mengandung EG, DEG, dan EGBE, BPOM sudah menginformasikan kepada perusahaan farmasi untuk melakukan pengujian bahan baku.

Hasilnya nanti akan dilaporkan oleh BPOM dan jika dibutuhkan, akan diverivikasi ulang oleh BPOM.

"Ini bukan shifting tetapi memang tugasnya (perusaahaan)," ujarnya.

Ada pun, Menteri Kesehatan (Menkes) Budi Gunadi Sadikin mengatakan bahwa sebanyak 102 obat sirup ditemukan di kediaman pasien gangguan ginjal akut.

Menurut penelusuran Kementerian Kesehatan (Kemenkes) bahwa obat tersebut dikonsumsi sebelum pasien mengalami gangguan ginjal akut dan dirawat di rumah sakit.

"Kita datangi semua rumah. Dari 241, kita datangi 156. Dari itu kita temukan 102 obat yang ada di lemari keluarga yang jenisnya sirup," kata Menkes Budi dalam konferensi pers Kementerian Kesehatan RI, Jumat 21 Oktober 2022.

Menkes menambahkan bahwa investigasi langsung ke kediaman pasien tersebut lantaran kasus terus bertambah dan kian melonjak. Dari 241 pasien, pihak Kemenkes sudah menyambangi 156 rumah pasien dan memeriksa sediaan obatnya.

Hal ini merujuk dari kasus kematian Balita akibat senyawa kimia dalam obat sirup di Gambia. Senyawa kimia tersebut yaitu etilen glikol (EG) dan diethylene glycol (DEG).

"Jadi obat-obat sirup ini supaya melarutnya bagus dia kasih pelarut tambahan polietelin glikol. Enggak beracun, tapi kalau membuatnya tidak baik ini jadi cemaran nah cemaran ini yang mengandung senyawa berbahaya seperti EG dan DEG," tambah Menkes Budi.

Halaman Selanjutnya
Halaman Selanjutnya