8 Pakar Sebut Air Galon Kemasan Polikarbonat Masih Aman Dikonsumsi

Ilustrasi galon.
Sumber :
  • Pixabay

VIVA Lifestyle – Sekurangnya ada 8 pakar teknologi dan keamanan pangan serta ilmu kimia dari Perguruan Tinggi ternama di Indonesia menyebutkan bahwa air galon kemasan berbahan polikarbonat (PC) masih aman untuk dikonsumsi masyarakat. 

Migrasi BPA di Galon Guna Ulang Sangat Kecil, BRIN: Kalau Cuma Terjemur Sinar Matahari Masih Aman

Menurut mereka, kemasan galon berbahan PC ini secara desain material bahan bakunya relatif aman untuk air minum dengan kemasan yang digunakan berulang kali. Scroll untuk informasi selengkapnya.

Pakar Teknologi Produk Polimer/Plastik yang juga Kepala Laboratorium Green Polymer Technology Fakultas Teknik Universitas Indonesia (FTUI), Assoc. Prof. Dr. Mochamad Chalid, S.Si., M.Sc. Eng., menegaskan, kemasan galon guna ulang secara desain material bahan bakunya relatif aman untuk air minum dengan kemasan yang digunakan berulang kali. Karenanya, lanjut Chalid, untuk mengatakan bahwa galon ini mengkhawatirkan pun harus jelas disclaimer-nya seperti apa.

Mengintip Proses Pembuatan Air Minum, dari Mata Air Sampai ke Tangan Masyarakat

"Jangan kalimat itu kemudian digeneralisir. Harus ada rinciannya, nggak bisa sembarangan. Nah, statement yang seperti itu nggak bisa digunakan untuk publik, kecuali kalau sudah ada data yang jelas,” ucap Chalid dalam keterangannya, Rabu 12 Oktober 2022. 

Ilustrasi minum air/air putih.

Photo :
  • Pexels/Karolina Gabrowska
Sering Diremehkan, Padahal Air Minum Berkualitas Pengaruhi Gizi Ibu Hamil dan Janin

Dosen Biokimia dari Fakultas MIPA Institut Pertanian Bogor (IPB), Syaefudin, PhD, mengungkapkan BPA yang tidak sengaja dikonsumsi para konsumen dari kemasan pangan akan dikeluarkan lagi dari dalam tubuh. Karena, menurutnya, BPA itu akan diubah di dalam hati menjadi senyawa lain sehingga dapat lebih mudah dikeluarkan lewat urine. 

“Jadi sebenarnya, kalau BPA itu tidak sengaja dikonsumsi oleh kita tubuh kita, misalkan dari air minum dalam kemasan yang mengandung BPA, itu akan dikeluarkan lagi. Ada proses glukoronidase di hati, di mana ada enzim yang mengubah BPA itu menjadi senyawa lain yang mudah dikeluarkan tubuh lewat urine,” katanya.

Selain itu, kata Syaefudin, sebenarnya BPA ini memiliki biological half life atau waktu paruh biologisnya. Artinya, ketika BPA itu misalnya satuannya 10, masuk dalam tubuh, dia selama 5-6 jam akan cuma tersisa 5. 

“Nah, yang setengahnya lagi itu dikeluarkan dari tubuh. Artinya, yang berpotensi untuk menjadi toksik dalam tubuh itu sebenarnya sudah berkurang,” tuturnya.

Ilustrasi BPA.

Photo :
  • Pixabay.

Pakar Teknologi Pangan dari IPB, Dr Eko Hari Purnomo, menegaskan bahwa kandungan BPA di galon air minum dalam kemasan berbahan polikarbonat tidak membahayakan kesehatan. Menurutnya, plastik polikarbonat (PC) yang mengandung BPA itu digunakan untuk galon air minum hanya karena sifatnya yang keras, kaku, transparan, mudah dibentuk, dan relatif tahan panas.  

“Tapi, berdasarkan data-data yang ada, penggunaan kemasan galon jenis ini tidak banyak menimbulkan risiko kesehatan, terutama dari sudut pandang BPA-nya. Apalagi untuk produk air, itu potensinya kecil sekali mengingat BPA tidak larut dalam air,” tuturnya. 

Itulah sebabnya menurut Eko, sulitnya ditemukan penelitian-penelitian yang dilakukan terhadap dampak BPA pada galon PC itu, karena memang sudah terbukti aman untuk digunakan. Tapi, kata Eko, yang banyak ditemukan itu adalah penelitian-penelitian migrasi BPA dari kemasan Polikarbonat (PC) pada kemasan selain galon PC.

“Sehingga, menurut saya, informasi-informasi dari penelitian yang bukan dari galon PC inilah yang kemudian diambil oleh orang-orang yang masih mempertanyakan bahaya BPA dalam galon PC ini. Sementara, dari berbagai studi yang sudah dilakukan menunjukkan bahwa migrasi BPA dari galon PC ke dalam minuman terutama air itu masih jauh di bawah batas migrasi yang diizinkan,” ucapnya.

galon air

Photo :
  • Pixabay

Ahli kimia sekaligus pakar polimer dari Institut Teknologi Bandung (ITB), Ahmad Zainal Abidin, menegaskan Bisfenol A (BPA) dan polycarbonate (PC) itu dua hal yang berbeda. Banyak masyarakat yang salah mengartikan antara bahan kemasan plastik polikarbonat dan BPA sebagai prekursor pembuatnya. 

Dia melihat beberapa pihak sering hanya melihat dari sisi BPA-nya saja yang disebutkan berbahaya bagi kesehatan tanpa memahami bahan bentukannya yaitu polikarbonat yang aman jika digunakan kemasan pangan. Menurutnya, BPA itu memang ada dalam proses untuk pembuatan plastik PC.

Dia mengibaratkannya seperti garam NaCl (Natrium Chloride), di mana masyarakat bukan mau menggunakan Klor atau Natriumnya, tapi yang digunakan adalah NaCl yang tidak berbahaya jika dikonsumsi. Menurutnya, Natrium itu berbahaya bahkan bisa jadi peledak. Begitu juga dengan Klor sama berbahayanya dan bahkan bisa menyebabkan kematian bagi orang yang menghirupnya.

”Jadi dalam memahami ini, masyarakat harus pandai mengerti agar tidak dibelokkan oleh informasi yang bisa menyesatkan dan merugikan,” kata Zainal.

Ilustrasi air putih.

Photo :
  • Pixabay

Dia juga berharap berita-berita yang terkait galon PC harus dijelaskan secara ilmiah dan jangan dikontroversikan menurut ilustrasi masing-masing yang bisa menyesatkan. “Jadi, harus dengan data ilmiah sehingga masyarakat kita akan memahami dan bisa mengambil keputusan sendiri,” ujarnya. 

Ahli teknologi pangan yang juga Guru Besar Ilmu dan Teknologi Pangan IPB, Prof. Dedi Fardiaz, mengatakan, sebetulnya tentang migrasi dari zat kontak pangan ke produk pangannya itu sudah diatur dalam Peraturan BPOM Nomor 20 Tahun 2019 tentang Kemasan Pangan.

Peraturan itu menyebutkan beberapa yang wajib dilakukan label bebas dari zat kontak pangannya itu tidak hanya kemasan berbahan PC yang mengandung BPA saja. Tapi juga produk lainnya seperti melamin perlengkapan makan dan minum, kemasan pangan plastik polistirena (PS), kemasan pangan timbal (Pb), Kadmium (Cd), Kromium VI (Cr VI), merkuri (Hg), kemasan pangan Polivinil Klorida (PVC) dari senyawa Ftalat, kemasan pangan Polyethylene terephthalate (PET), juga kemasan pangan kertas dan karton dari senyawa Ftalat.

Khusus yang terkait BPA, dia mengatakan BPOM telah menetapkan satuan untuk keamanan pangannya sama dengan yang lain yang disebut TDI (tolerable daily intake). Di mana, sesuai ketentuan dalam Peraturan Badan POM Nomor 20 Tahun 2019 tentang Kemasan Pangan, batas migrasi maksimal BPA adalah sebesar 0,6 bagian per juta (bpj, mg/kg).

Ilustrasi kemasan botol minum atau BPA.

Photo :
  • iStockphoto.

Pada pertengahan tahun lalu, kata Dedi, BPOM juga telah melakukan pengujian terhadap migrasi BPA terhadap AMDK berbahan PC dan menemukan bahwa hasilnya rendah sekali dibandingkan dengan persyaratan kandungan dalam airnya. "Setelah dihitung ternyata paparannya itu jauh sekali di bawah itu. Artinya relatif aman,” ujarnya.

Dosen dan Peneliti dari Departemen Ilmu dan Teknologi Pangan IPB, Dr. Nugraha E. Suyatma, STP, DEA, juga menyampaikan ketidaksetujuannya terhadap pihak-pihak yang mengatakan air minum kemasan galon PC itu berbahaya untuk kesehatan. Menurutnya, galon-galon itu sebelum diedarkan sudah diuji terlebih dulu residu BPA-nya berapa. Migrasinya juga sudah dites dulu oleh pabriknya dan sudah memiliki standar keamanan pangan. 

"Jadi, air galon polikarbonat itu relatif aman untuk digunakan dan tidak perlu sampai dilabeli BPA Free,” tuturnya.

Guru Besar Bidang Keamanan Pangan & Gizi di Fakultas Ekologi Manusia (FEMA) Institut Pertanian Bogor (IPB) Prof Dr. Ir. Ahmad Sulaeman, MS, C.Ht, mengatakan pencantuman logo recycle dengan nomor serta nama bahan kemasan di bawah kemasan botol minuman untuk saat ini sudah cukup aman, dan tidak perlu ditambah embel-embel bebas BPA.

Ilustrasi galon.

Photo :
  • Pixabay

Vice-Chair Codex Alimentarius Commission (CAC), Prof. Dr. Ir. Purwiyatno Hariyadi, M.Sc, yang juga peneliti senior Seafast Center LPPM IPB mengatakan regulasi keamanan pangan diskriminatif yang hanya diberlakukan pada satu produk tertentu saja bukan prinsip regulatory yang baik. Menurutnya, hal itu bisa menyebabkan tujuan dari kebijakan yang mau dibuat itu tidak tercapai.

Menurut Purwiyatno, penelitian yang dilakukan hanya kepada produknya saja belum cukup untuk menyimpulkan bahwa itu membahayakan bagi kesehatan. 

“Kalau kita bicara mengenai risiko keamanan pangan maka landasannya adalah bukannya ada atau tidak ada bahaya dalam hal ini BPA dalam produknya, tetapi seberapa besar paparan atau exposure BPA tersebut terhadap masyarakat,” pungkas Purwiyatno.

Halaman Selanjutnya
Halaman Selanjutnya