Jamu Diakui Dunia, Kemenkes: Sayangnya Obat Herbal Masih Diremehkan
- pixabay/Ajale
VIVA Lifestyle – Saat ini, semakin banyak negara yang mengakui peran jamu dalam sistem kesehatan nasional mereka. Di China, penggunaan obat herbal sudah mapan untuk tujuan kesehatan. Sementara di Jepang, 50-70 persen jamu telah diresepkan.
Kantor Regional WHO untuk Amerika (AMOR/PAHO) juga melaporkan bahwa 71 persen penduduk Chili dan 40 persen penduduk Kolombia menggunakan obat tradisional. Bahkan di antara negara-negara maju, obat herbal pun sangat populer. Penggunaan jamu oleh penduduk di Perancis mencapai 49 persen, Kanada 70 persen, Inggris 40 persen, dan Amerika Serikat 42 persen.
Lalu, bagaimana dengan Indonesia? Scroll ke bawah untuk mengetahui informasinya.
Direktur Jenderal Kefarmasian dan Alat Kesehatan, Kementerian Kesehatan (Kemenkes) RI, Dr. Dra. Lucia Rizka Andalusia, Apt, M.Pharm, MARS., mengatakan, obat herbal sebagai bagian dari pengobatan tradisional dan komplementer, menjadi sumber daya kesehatan yang penting tapi sayangnya sering diremehkan.
"Terutama, dalam pencegahan dan pengelolaan gaya hidup terhadap penyakit kronis dan dalam memenuhi kebutuhan kesehatan populasi yang menua," ujarnya saat Dialog T20 Indonesia 2022, yang digelar Dexa Group secara virtual, Selasa 6 September 2022.
Menurutnya, banyak negara berusaha untuk memperluas cakupan layanan kesehatan esensial, pada saat harapan pelanggan untuk perawatan kesehatan dan sebagian besar anggaran stagnan dan berkurang. Bahkan, obat herbal menjadi fokus para peneliti dan industri di dunia termasuk negara-negara G20.
"Namun ada juga tantangan, seperti kurangnya penelitian karena kesulitan, dukungan keuangan untuk penelitian tentang TCM (Tes Cepat Molekuler) dan pengobatan herbal. Kurangnya kemauan politik dan kapasitas untuk memantau keamanan produk TCM, sistem informasi dan analisis serta integrasi TCM ke dalam sistem kesehatan," jelasnya.
"Hal ini seharusnya tidak memperlambat potensi produk herbal, kita harus melihat ini sebagai peluang. Indonesia dengan sekitar 143 ha hutan tropis, dengan 28.000 spesies tumbuhan, 32 ribu bahan telah dimanfaatkan. Indonesia dengan 217 juta penduduk tetap menjadi pemain utama baru untuk Farmasi Hijau (Green Pharmacy) dengan produk jamu," sambung dia.
Untuk mencapai hal tersebut, Kementerian Kesehatan mulai menerapkan transformasi sistem kesehatan dengan 6 pilar, di mana ketahanan sektor farmasi merupakan bagian dari transformasi ini.
"Agenda transformasi ini mencerminkan dukungan Kementerian Kesehatan dalam pengembangan dan pemanfaatan jamu di bidang kesehatan. Di lokasi pengembangan, kami mendorong penelitian, pengembangan, hingga penanganan dan pemanenan bahan baku untuk memastikan standar kualitas dalam produksi. Kami menyelaraskan upaya untuk mendukung UKM untuk mengembangkan bisnis dan pasar mereka," pungkasnya.
Di situs permintaan, kata Lucia, Kemenkes menyediakan Formularium Fitofarmaka yang diluncurkan pada semester pertama tahun 2022 ini. Pemerintah menyediakan dana alokasi khusus bagi pemerintah daerah untuk menggunakan produk lokal.
"Kami percaya tindakan ini akan membawa pemanfaatan Green Pharmacy dan memberikan keberlanjutan dalam pengaturan perawatan kesehatan kami. Menjamin kehidupan yang sehat dan meningkatkan kesejahteraan seluruh penduduk merupakan bagian dari visi SDGs dan tetap menjadi agenda kita," tuturnya.
Menurut Lucia, hal ini juga sejalan dengan visi Presiden untuk menciptakan masyarakat yang sehat, produktif dan mandiri. Untuk itu, harus ada lebih banyak tindakan kolaboratif antar pemangku kepentingan untuk meningkatkan ketahanan kesehatan.
"Saya menggarisbawahi bagian penting dari Green Pharmacy, dan mendorong semua peserta untuk memberikan rekomendasi berkelanjutan kepada pemerintah dan pemangku kepentingan dalam mengoptimalkan peran Green Pharmacy dalam mendukung arsitektur kesehatan global," imbuh Lucia.
Berada dalam ruang diskusi yang sama, Director of Research & Business Development Dexa Group, Dr. Raymond Tjandrawinata, menambahkan, Indonesia seperti halnya India dengan ayuverda dan lain-lain, kita memiliki jamu tradisional yang baik untuk pencegahan penyakit dan sebagainya dan telah digunakan oleh masyarakat.
"Namun masih terdapat mitos tentang obat tradisional, seperti sedikit khasiat, tidak adanya bukti, sedikit pengetahuan tentang farmakologi herbal, takut salah diagnosis dan dosis yang tidak tepat dan sebagainya. Ini yang harus kita lawan, agar masyarakat mengerti pentingnya Green Pharmacy yang produknya bisa membantu pasien," tegasnya.
Di masa depan, Raymond mengatakan, Green Pharmacy harus menjadi obat integratif untuk pengobatan konvensional, pengobatan gaya hidup, dan terapi komplementer yang terinformasi. Jadi, kehidupan manusia akan lebih baik dan kualitas hidup menjadi jauh lebih tinggi.
"Fitofarmaka tidak hanya bermanfaat bagi pasien, tetapi juga para petani yang menyediakan bahan baku untuk produk Green Pharmacy. Hari ini kita punya 24 fitofarmaka, kita perlu meningkatkannya. Menkes melaporkan bahwa hanya 1,2, 3 persen dokter yang meresepkan fitofarmaka di rumah sakit. Ini adalah sesuatu yang perlu kita kerjakan untuk memberi manfaat bagi pasien," paparnya.
Lebih lanjut Raymond menjelaskan, Green Pharmacy adalah obat berbasis bukti sehingga para dokter dapat mempercayai dan meresepkan produknya. Di mana produk alami ini tidak kalah dengan produk konvensional.
"Misalnya, kami head-to-head antara Readacid dan produk Omeprazole lainnya. Produk Green Pharmacy yang baik dapat menggantikan produk yang berbahan kimia. Kita punya Formularium Nasional tapi masih ada 5 produk saja, kita perlu menambah minimal menjadi 20 produk. Kita harus berkolaborasi untuk memastikan fitofarmaka Green Pharmacy dapat dengan mudah ditambahkan ke dalam formularium. Kita perlu meningkatkan menjadi 40-50 persen untuk resep Green Pharmacy di Indonesia," bebernya.
"Dexa Group telah memproduksi fitofarmaka sejak 2011, Stimuno pada tahun 2005. Produk Green Pharmacy kami sudah sangat dihargai di negara lain. Kita perlu bekerja sama agar dokter dapat meresepkan ini karena Greeen Pharmacy menyelamatkan nyawa dan meningkatkan kualitas hidup manusia," tutup Dr. Raymond Tjandrawinata.