Deret Mitos Kusta, Penyakit Kutukan Hingga Sulit Diobati
- U-Report
VIVA Lifestyle – Penyakit kusta masih menjadi salah satu momok yang dianggap menakutkan bagi masyarakat sekitar lantaran mitos yang beredar mulai dari penyakit akibat dosa hingga kutukan. Faktanya, stigma negatif tersebut justru membuat mereka yang mengidap kusta, enggan keluar rumah sehingga menghambat pengobatannya.
Dalam acara media gathering yang diselenggaraka NLR Indonesia, bersama radio KBR, dengan topik “Stigma dan Mental Wellbeing pada Kusta”, dibahas hal seputar mitos-fakta tentang kusta, dan peran media dan sejauh mana media awareness terkait isu kusta, serta bagaimana inisiatif mahasiswa peduli kusta dalam partisipasinya pada upaya penanganan kusta, serta pengalaman konkrit pemberitaan terkait kusta yang dilakukan individu maupun organisasi.
Communication Officer NLR Indonesia (organisasi non-pemerintah untuk pemberantasan kusta) Paulan Aji, mengatakan ada enam mitos soal kusta yang mendominasi di masyarakat. Mitos paling utama dan sering ditakutkan adalah pendapat yang menyebut kusta mudah menular, yang sebenarnya dapat disembuhkan dengan pengobatan tepat.
"Publik menangkap stigma kusta ya, kusta mudah menular. Sehingga, kusta masih berobat tetap aja dibilang menular aja. Kusta tidak dapat disembuhkan, kenyataannya bisa disembuhkan asal ada obatnya dengan periode tertentu," tuturnya, baru-baru ini.
Lebih lanjut, mitos lain yang beredar bahwa kusta hanya menyerang lansia. Paulan menegaskan bahwa kusta sejatinya menyerang berbagai usia dan kalangan. Bahkan, mitos lain yang juga kerap didengar adalah anggapan kusta sebagai bentuk kutukan yang memicu kesehatan mental pengidapnya menjadi drop.
"Kusta hanya menyerang lansia, padahal sebenarnya kenyataannya bisa menyerang siapa aja dan semua kalangan umur. Juga stigmanya paling sering muncul akibat kutukan. Ini dianggap kutukan, melihat orang kusta kayak berdosa dan dikutuk," kata dia.
Mirisnya, mitos akan kusta sebuah kutukan membuahkan dampak akan isolasi dari masyarakat. Lingkungan pun tak segan mengurung pasien tanpa mencari tahu informasi yang tepat.
"Harus diisolasi lebih parah lagi, ada diskriminasi, penyingkiran orang dari kehidupan sosial. Kalau terinfeksi dibuatkan rumah, kandang sendiri di belakang sana," ujarnya.
Lebih lanjut, mitos lain yang kerap meluas menyebut bahwa kusta hanya menyerang masyarakat kalangan bawah. Padahal, kusta bisa dialami siapa pun tanpa pandang bulu.
"Seakan-akan tak berguna, kusta penyakit orang miskin. Enggak juga ya, siapapun bisa terkena kalau melakukan kontak erat cukup lama jika belum berobat. Padahal, kalau berobat dengan benar kusta tidak akan menular," ujarnya.
Paulan Aji mendorong kalangan media dan pers mahasiswa agar menampilkan foto, gambar, video, dan cerita yang inspiratif tanpa melanggengkan stigma kusta. Seperti Cmcerita yang dilengkapi foto, gambar, video dan pernyataan sebaiknya menampilkan perubahan yang positif dari orang yang pernah mengalami kusta, bukan malah berfokus pada sisi kelamnya.
"Kusta bukan kutukan. Ini sebagai stigma, ada bilang guna-guna, diperlakukan kasar. Ini persepsi ditangkap anak-anak sekarang diwujudkan dalam poster," kata dia.
Untuk itu, Project Officer SUKA (Suara untuk Indonesia Bebas Kusta), Fanny Rachma menyampaikan pentingnya keberadaan media sebagai penyalur informasi yang valid. Ia berharap agar informasi tepat mampu membuat stigma negatif menurun sehingga pengobatan kista akan jadi lebih baik.
“Media diharapkan mampu menuangkan informasi kusta yang valid dan inklusif dengan kaidah jurnalistik tanpa mengesampingkan risiko terjadinya stigma dan diskirimasi pada kusta yang berujung pada masalah kesejahteraan emosional, psikologis hingga sosial,” ujar Fanny Rachma.
Kegiatan Media Gathering ini merupakan rangkaian proyek SUKA (Suara untuk Indonesia Bebas dari Kusta) yang diinisiasi NLR Indonesia sejak 2021 untuk mengedukasi publik secara kontinyu tentang kusta dan konsekuensinya. Proyek ini menggandeng media, komunitas blogger, universitas, sektor swasta, organisasi profesi dan organisasi penyandang disabilitas.