Remaja Sering 'Kena' Mental, Ini Trik Kelola Emosi Tepat

Ilustrasi pria marah/emosi.
Sumber :
  • Freepik/nakaridore

VIVA Lifestyle – Tak sedikit remaja yang saat ini rentan diintai masalah kesehatan mental, yang pada akhirnya berdampak buruk bahkan hingga bunuh diri. Faktanya, permasalahan kesehatan jiwa kian meningkat dan berat untuk diselesaikan di masa pandemi COVID-19.

Jennifer Coppen Pernah Ingin Bunuh Diri Usai Ditinggal Dali Wassink Akibat Kecelakaan

Masalah kesehatan jiwa telah menjadi masalah kesehatan yang belum terselesaikan di tengah-tengah masyarakat, baik di tingkat global maupun nasional. Psikolog Klinis dan Peneliti Relasi Interpersonal Pingkan Rumondor, M.Psi., mengatakan bahwa cara paling utama dalam mencegah permasalahan mental tersebut melalui pengelolaan emosi

Namun, mengelola emosi tersebut tentu bukan hal mudah bagi tiap remaja di usianya yang terbilang masih ingin mencoba berbagai hal baru. Untuk itu, langkah pertama yang disarankan adalah melalui cara mengenali dan ekspresikan emosi.

Polisi Gagalkan Dua Tawuran di Jakarta Barat, 17 Remaja Diamankan

Ilustrasi marah.

Photo :
  • U-Report

"Perlu belajar untuk kenali dan ekspresikan emosi. Kedua, belajar kelola emosi. Setelah tahu ini apa namanya, dada bergolak, kok tegang, ini marah. Itu kenali emosi," ujarnya dalam acara CloseUp, di Jakarta, belum lama ini.

Blu by BCA Digital Tawarkan Solusi Keuangan Praktis untuk Remaja

Setelah mengenali bentuk emosi dari bahasa tubuh sendiri, Pingkan menganjurkan untuk mulai mengelolanya. Tak perlu hal sulit, cukup dengan satu tarikan napas dan akhirnya kemarahan bisa diproses dengan baik.

"Setelah tahu ini namanya marah, belajar kelola. Kalau dulu diem atau langsung marah. Terima dulu, tarik napas, apa pemicu marah, ada kecewa, sedih apa yang diinginkan," kata dia.

Dengan kemampuan mengelola emosi, maka kita bisa belajar mengungkapkan apa yang dibutuhkan tubuh. Hal ini bisa bermanfaat positif bagi kesehatan mental serta dalam menjalin hubungan dengan orang lain, termasuk nantinya dalam membangun pernikahan.

"Belajar ungkapkan apa yang sebenarnya dibutuhin. Dilatih dari kecil, bantu saat punya keluarga, punya pasangan, ketika buat marah, kita enggak langsung meledak. Kelola dulu baru omongin. 'Aku takut tadi suara kamu naik. Aku butuh kamu tenang karena aku agak ngeri kalau kamu suaranya naik', itu contohnya," tuturnya.

Pemberitaan berikut ini tidak untuk menginspirasi dan diimbau anda tak menirunya. Jika anda merasakan gejala depresi, permasalahan psikologi yang berujung pemikiran untuk melakukan bunuh diri segera konsultasikan ke pihak-pihak yang dapat membantu anda seperti psikolog, psikiater atau klinik kesehatan mental.

Halaman Selanjutnya
Halaman Selanjutnya