Ngeri! Saat Dibakar, Rokok Mengandung 70 Senyawa Pemicu Kanker
- Pixabay/Ralf Kunze
VIVA Lifestyle – Apoteker memiliki peran fundamental dalam pengembangan sains dan teknologi pada bidang kesehatan preventif serta promotif. Hal ini dapat diterapkan dengan melakukan modifikasi risiko dan pemanfaatan bioaktif.
Apoteker dari Universitas Hasanuddin Muhammad Aswad mengatakan, sebagian besar zat aktif pada berbagai jenis obat yang tersedia merupakan senyawa bioaktif yang diidentifikasi berasal dari bahan alam, seperti tumbuhan, hewan, dan mikroorganisme.
Seiring dengan perkembangan zaman dan kebutuhan akan bahan baku obat, senyawa bioaktif tersebut telah disintesis secara kimia maupun biologi ataupun telah diderivatisasi.
“Harapannya adalah meningkatkan efek dari senyawa induknya ataupun bisa meminimalkan efek samping dari senyawa tersebut,” kata Aswad saat menjadi narasumber dalam diskusi daring yang digelar Ikatan Apoteker Indonesia (IAI) bertema 'Peran Apoteker dalam Pengembangan Sains dan Teknologi di Bidang Kesehatan Preventif: Peluang dan Tantangan," beberapa waktu lalu.
Menurut Aswad, penggunaan senyawa bioaktif juga ditemukan dalam kehidupan sehari-hari. Misalnya, untuk pengobatan dengan menggunakan bahan baku dari alam, seperti jamu-jamuan. Senyawa bioaktif pada jamu-jamuan yang paling sering ditemukan adalah kurkumin. Tak hanya itu, penggunaan senyawa bioaktif juga ditemukan pada produk tembakau, yaitu nikotin yang bersumber dari tanaman tembakau.
“Tembakau kering mengandung nikotin sekitar 9 persen. Nikotin juga ditemukan pada beberapa jenis tanaman lainnya seperti pada terong, kembang kol, kentang dan tomat, walaupun kita makan dengan kadar yang sangat sedikit,” kata Aswad.
Saat ini, konsumsi nikotin paling banyak diperoleh dari merokok. Aswad menjelaskan saat dibakar, rokok mengandung sekitar 7 ribu senyawa, 70 di antaranya merupakan senyawa karsinogenik yang memicu timbulnya penyakit kanker.
Seiring dengan perkembangan teknologi, nikotin kini bisa diperoleh melalui penggunaan produk tembakau alternatif, seperti rokok elektrik, produk tembakau yang dipanaskan, dan kantong nikotin.
“Ada salah satu kajian yang membandingkan produk tembakau alternatif dengan rokok, hasilnya menunjukkan reduksi paparan zat berbahaya lebih dari 90 persen lebih rendah daripada rokok,” tuturnya.
Berdasarkan hasil riset Organisasi Kesehatan Dunia (WHO) dan Kementerian Kesehatan menyatakan, 25 persen masyarakat Indonesia merupakan perokok. Setidaknya, terjadi peningkatan jumlah perokok di Indonesia sebanyak 8,8 juta orang atau 14,5 persen dalam kurun waktu dari 2011-2021. Saat ini, angka perokok di Indonesia mencapai 69,1 juta jiwa.
Nikotin memang memiliki sifat adiktif terhadap konsumennya. Namun, Aswad mengatakan nikotin juga memberikan dampak positif bagi penderita Alzheimer. Nikotin memiliki peran penting untuk memori.
“Senyawa bioaktif yang digunakan secara luas di masyarakat seperti nikotin perlu mendapatkan perhatian dari sains farmasi untuk dapat menilai risk and benefit dari penggunaan senyawa bioaktif tersebut dalam berbagai aspek,” pungkasnya.
Dalam kesempatan yang sama, Diana Laila Ramatillah, Apoteker dari Universitas 17 Agustus menambahkan, ada banyak senyawa bioaktif yang bisa terus dieksplorasi di alam Indonesia dan berpotensi mendatangkan manfaat yang besar.
Namun dalam pemanfaatannya, diperlukan tindakan kehati-hatian. Diana mencontohkan salah satu senyawa bioaktif di luar nikotin yang bisa diteliti lebih jauh adalah cinnamon oil atau minyak kayu manis.
Tapi pada pemanfaatannya perlu diingat bahwa minyak kayu manis murni dapat menimbulkan risiko. Beberapa di antaranya yaitu mengiritasi kulit ketika dicampur secara langsung dengan air mandi dan membakar selaput lendir serta kerongkongan untuk penggunaan oral.
Oleh sebab itu, perlu peran aktif para apoteker dalam mengeksplorasi bahan bioaktif untuk semakin ditingkatkan guna mengetahui potensi dan dampaknya terhadap kesehatan.
“Di sinilah peran apoteker untuk terus mengeksplorasi beragam senyawa bioaktif yang bisa ditemukan di alam. Memilah potensi risiko untuk mengeliminasi dampak dan cara pemanfaatan yang tepat sehingga bisa mendapatkan manfaat sepenuhnya,” kata Diana.
Dewan Pakar IAI dan Cancer Chemoprevention Research Center Universitas Gadjah Mada, Profesor Edy Meiyanto mengatakan, tantangan yang dihadapi apoteker sekarang ini adalah perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi serta pengembangan produk. Kedua hal tersebut perlu ditingkatkan secara berkelanjutan oleh para apoteker. Sebab, kesehatan preventif menjadi tren ke depan oleh para pemerhati kesehatan.
“Kalau tidak mengembangkan secara intensif dan masif, maka kita akan menjadi konsumen terus-menerus. Kita harus berpikir mengenai riset dan pengembangan produknya karena produk preventif sangat dibutuhkan sekali untuk penyakit tidak menular dan penyakit menular,” imbuh Prof. Edy.