Ahli: Rokok Elektronik Tidak Lebih Aman dari yang Konvensional
- ANTARA FOTO/M Agung Rajasa
VIVA Lifestyle – Belum selesai dunia menghadapi ancaman epidemi tembakau rokok konvensional, kini ancaman baru yaitu rokok elektronik sebagai produk baru adiktif tembakau telah hadir di masyarakat. Zat adiktif dengan desain pakaian baru yang seolah lebih sehat, nyatanya justru memicu dampak berbahaya bagi kesehatan.
Di Indonesia berdasarkan data Global Adult Tobacco Survey (2021) jumlah pengguna rokok elektronik usia 15 tahun ke atas meningkat dari 0,3 persen (480 ribu) pada tahun 2011 menjadi 3,0 persen (6,6 juta) pada tahun 2021 dan sebanyak 2.8 persen adalah berusia muda dan berprofesi sebagai pelajar.
Indonesian Youth Council for Tobacco Control (IYCTC), koalisi 43 organisasi kaum muda dari 29 kota/kabupaten di Indonesia, membentuk Youth Led Activity sebagai upaya pelibatan kaum muda yang bermakna dalam mengkaji rokok elektronik dan mendesak pemerintah untuk membuat regulasi yang tegas untuk mengatur rokok elektronik sebagai upaya mencegah peningkatan korban ganda produk baru bisnis adiktif.
"Rokok elektronik tidak lebih aman dari rokok konvensional karena keduanya memiliki dampak yang buruk bagi kesehatan dan juga mengancam lingkungan," tutur Departemen Penelitian dan Pengembangan IYCTC, Oktavian Denta Eko Antoro atau yang disapa Denta, dalam acara virtual, Rabu 20 Juli 2022.
"Rokok elektronik memiliki dampak negatif bagi lingkungan, dan harus dikelola sesuai dengan tata cara pengelolaan sampah B3, karena sampahnya yang sangat masif,” imbuh Denta.
Pencemaran tanah terjadi karena berbagai faktor, termasuk kandungan baterai yang digunakan di dalam rokok elektronik. Dampak tersembunyi yang jarang diketahui dari kandungan baterai tersebut bisa sangat beracun lantaran terdiri dari kadmium, lithium dan merkuri.
Selain itu, narasi yang dibuat produsen bahwa rokok elektronik membantu berhenti merokok dan jauh lebih sehat dibandingkan rokok konvensional, menggoda orang, termasuk remaja, untuk mencoba mengonsumsi rokok elektronik. Nyatanya, dampak kesehatan antara kedua jenis rokok tersebut sama buruknya.
"Bahkan rokok elektronik juga menjadi barang yang digunakan untuk melengkapi rokok konvensional sehingga muncul pengguna ganda (dual user)," tambah Denta.
Tim studi kasus Youth Led Activity IYCTC Jordan Vegard Ahar, juga menambahkan bahwa berdasarkan hasil studi kasus di lapangan menunjukkan bahwa responden yang berusia di bawah 18 tahun sebagian besar dilarang dan tidak mendapat izin dari orangtuanya untuk mengonsumsi rokok elektronik. Hal itu membuat mereka membeli dan mengonsumsinya secara sembunyi-sembunyi atau di luar rumah.
"Nyatanya, anak-anak bisa membeli produk rokok elektronik secara bebas di media online. Hal tersebut lantaran saat ini iklan dan promosi rokok elektronik sangat masif di berbagai platform media sosial dan tak jarang dilakukan oleh influencer hingga menjadi daya tarik masyarakat membeli dan menjadikan produk ini normal," imbuhnya.
Untuk itu, Youth Ranger Indonesia, Rinaldi Nur Ibrahim, berpendapat bahwa memang perlu adanya peraturan dari pemerintah untuk membatasi masyarakat dan anak-anak muda agar mereka tidak merasa bahwa rokok elektronik adalah sesuatu yang normal. Ia berharap agar generasi muda tak termakan promosi rokok elektronik maupun konvensional yang membahayakan kesehatan.
"Saya melihat sendiri itu dari datanya, Indonesia memang belum terlalu masif untuk mengatur iklan, promosi dan sponsor rokok elektronik sehingga bisa berpotensi untuk meningkatkan penggunaan rokok elektronik oleh anak muda," ucapnya.