Duduk Lama Picu Gangguan Saraf, Yuk Deteksi Dini
- U-Report
VIVA – Duduk terlalu lama berpotensi memicu berbagai penyakit yang berbahaya, termasuk gangguan pada saraf. Kecenderungan duduk lama tersebut biasa dilakukan ketika sering bekerja tanpa bergerak aktif dalam waktu yang cukup lama.
Ketua Pokdi Neuro Fisiologi Perhimpunan Dokter Spesialis Saraf Indonesia (PERDOSSI): dr. Manfaluthy Hakim, Sp.S(K), menjelaskan, saraf tepi atau perifer menghubungkan sistem saraf pusat dengan semua bagian penting tubuh. Bagian tubuh yang kerap banyak tekanan rentan mengalami gangguan di saraf, termasuk ketika duduk terlalu lama.
"Karena bekerja di rumah, di depan laptop, dengan posisi selalu sama, dalam waktu lama  berulang, sehingga kurang gerak dan ada penenakan di saraf bagian tertentu. Sehingga muncul neuropati akibat penekanan," ujarnya dalam acara virtual Neuropathy Awareness Week 2022 bersama P&G Health, baru-baru ini.
Neuropati adalah gangguan pada sistem saraf tepi yang bisa terjadi akut ataupun kronis, dengan gejala umum seperti kebas, kesemutan, rasa seperti tertusuk, dan sensasi terbakar di tangan dan kaki yang dapat memengaruhi kualitas hidup pasien. Selama pandemi, dokter Luthy menilai, cukup banyak keluhan terkait neuropati tersebut.
"Tapi pengalaman di rumah sakit menunjukkan banyak pasien mengeluh seperti keluhan neuropati. Nyeri punggung bawah. Ada peningkatan tapi tidak ada data," ujar dia.
Ada pun penyebab gangguan saraf tepi dapat terjadi karena penyakit tertentu, kondisi fisik, usia lanjut, dan kurangnya asupan nutrisi. Vitamin B berperan penting karena mampu meregenerasi sel saraf sehingga asupan vitamin B harus tercukupi untuk menjaga kesehatan saraf tepi.Â
"Deteksi dini sangatlah penting agar pengobatan lebih awal dapat dilakukan termasuk pemberian vitamin neurotropik. Hal tersebut bertujuan untuk mencegah dampak neuropati yang lebih berat, karena kerusakan saraf dapat bersifat irreversible jika lebih dari 50 persen serabut saraf telah rusak," tutur dokter Luthy.
Ia menambahkan bahwa setiap orang memiliki potensi risiko gejala neuropati, karena itu Neuropathy Awareness Week menjadi waktu yang tepat untuk mendapatkan informasi sebanyak mungkin dan mencegah dampak bahayanya. Apalagi berdasarkan Riskesdas (Riset Kesehatan Dasar) 2018, proporsi penduduk Indonesia yang kurang aktivitas fisik meningkat dari 26,1% pada 2013 menjadi 33,5% pada 2018.Â
"Artinya 1 dari 3 orang menjalani gaya hidup sedentari dan hal ini berpotensi meningkat selama pandemi yang dapat berisiko terhadap penyakit tidak menular (PTM) termasuk kerusakan saraf," kata Direktur Promosi Kesehatan dan Pemberdayaan Masyarakat – Ditjen Kesmas, Kementerian Kesehatan Republik Indonesia, dr. Imran Agus Nurali.
Peningkatan kasus PTM secara signifikan akan menambah beban masyarakat dan pemerintah, karena penanganannya membutuhkan banyak waktu, biaya besar dan teknologi tinggi. Lebih lanjut, dokter Imran Agus Nurali, mengatakan, kampanye edukasi masyarakat dan deteksi dini PTM adalah cara yang paling efektif dan efisien untuk mengendalikan faktor risiko. Masyarakat diimbau untuk menjadikan CERDIK dan GERMAS sebagai bagian gaya hidup mereka.Â
"Kami juga percaya bahwa inisiatif dari pemangku kepentingan lainnya sangat penting untuk terus mengingatkan publik tentang masalah ini. Kami sangat menghargai P&G Health atas komitmen mereka untuk mengedukasi tentang neuropati dan kesehatan saraf secara umum. Upaya ini diharapkan dapat menginspirasi masyarakat untuk melakukan deteksi dini dan pengobatan neuropati yang tepat," kata dia.