Bisa Pakai JKN, Kemenkes Siap Luncurkan Obat Fitofarmaka Mei 2022
- Freepik/freepik
VIVA – Kementerian Kesehatan (Kemenkes), mulai melakukan penyusunan Formularium Nasional Fitofarmaka yang merupakan Obat Modern Asli Indonesia (OMAI). Hal itu agar dapat digunakan dalam program Jaminan Kesehatan Nasional (JKN).
Direktur Produksi dan Distribusi Kefarmasian Kementerian Kesehatan RI, Agusdini Banun Saptaningsih menegaskan, hal tersebut merupakan wujud keseriusan Pemerintah dalam membangun ketahanan dan kemandirian industri farmasi nasional.
Menurutnya, Formularium Fitofarmaka OMAI akan diluncurkan pada Mei 2022. Menteri Kesehatan Budi Gunadi Sadikin pun disebut sudah menyetujui Formularium ini. Nantinya, Formularium Nasional ini akan memungkinkan klinisi di fasilitas pelayanan kesehatan untuk meresepkan Fitofarmaka kepada pasien.
“Setelah Fornas Fitofarmaka launching pada Mei 2022, Kemenkes akan mensosialisasikan ke wilayah Indonesia Barat, Tengah dan Timur untuk fasilitas kesehatan agar membeli Fitofarmaka,” kata Agusdini pada Webinar Diseminasi Hasil Kajian Kebijakan Pengembangan Obat Tradisional Indonesia, oleh PKMK FK-KMK Universitas Gadjah Mada (UGM), dikutip Senin, 25 April 2022.
Selama ini OMAI Fitofarmaka terhalang masuk Formularium Obat-obatan Nasional untuk program JKN karena adanya Permenkes No 54/2018. Meski sudah lolos uji klinis, Fitofarmaka masih dianggap sebagai obat tradisional karena terbuat dari bahan alam.
Padahal sebenarnya fasilitas kesehatan di daerah bisa saja meresepkan Fitofarmaka untuk pasien melalui Dana Alokasi Khusus (DAK). Namun menurut Dr. Agusdini, penyerapan DAK di daerah belum maksimal, sehingga dengan diluncurkannya Formularium Fitofarmaka, penggunaan DAK untuk pengadaan OMAI Fitofarmaka bisa lebih maksimal.
Pemerintah telah mengalokasikan dana sebesar Rp1,43 triliun untuk mendorong penggunaan OMAI oleh seluruh Dinas Kesehatan di daerah.
“Kami agendakan ada 4 pekerjaan Kemenkes untuk sosialisasikan ke dinas kesehatan provinsi, kabupaten/kota untuk menggunakan dana sekitar Rp1,43 triliun untuk membelanjakan sebagian DAK dan membeli fitofarmaka dan OHT di masing-masing dinas kesehatan,” ujarnya.
Penggunaan anggaran untuk pengadaan Fitofarmaka di Dinas Kesehatan daerah juga sejalan dengan Instruksi Presiden No 2 Tahun 2022, yakni guna mempercepat pembelian produk dalam negeri. Pengembangan produk Fitofarmaka juga sejalan dengan Permenkes No 17/2017 terkait 4 pilar pengembangan produk farmasi. Fitofarmaka termasuk dalam pilar obat natural.
Ia menambahkan, sebelumnya Tim Komite Nasional Formularium Fitofarmaka telah menyusun 24 item yang kemudian diringkas menjadi 7 indikasi kelas terapi. Dari angka tersebut, ada 5 indikasi kelas terapi yang disetujui masuk dalam Formularium Fitofarmaka.
Dalam kesempatan yang sama, Staf Khusus Menteri Kesehatan, Prof. dr. Laksono Trisnantoro, menyoroti khasiat dan keamanan Fitofarmaka yang telah melalui uji praklinik dan uji klinik, serta bahan baku dan produknya sudah terstandarisasi. Untuk itu, perlu adanya pembedaan dengan obat tradisional jamu dan obat herbal terstandar.
“Fitofarmaka bukan obat tradisional melainkan obat modern dari bahan herbal,” kata Prof. Laksono.
Menurut Prof. Laksono, di masa mendatang Fitofarmaka perlu dikembangkan sebagai obat ethical yang memerlukan resep dokter sebagai ciri dari obat modern, menjadi bagian dari pengobatan modern, masuk ke dalam program Jaminan Kesehatan Nasional dan bersaing dengan obat ethical non-herbal dengan khasiat yang sama.
“Jadi Fitofarmaka bukan hanya sebagai suplemen, tetapi menjadi obat pilihan yang diresepkan dokter untuk berbagai penyakit, seperti diabetes, hipertensi dan penyakit tertentu lainnya,” kata beliau.
Sementara itu, dr Ulfatun Nisa, Tim Peneliti Fakultas Farmasi - FKKMK UGM memaparkan bahwa berdasarkan hasil penelitian timnya, permintaan pengadaan OMAI Fitofarmaka oleh tenaga kesehatan masih minim.
Padahal fasilitas kesehatan bisa mengalokasikan DAK hingga 20 persen untuk pengadaan Fitofarmaka. Beliau menyebut, implementasi kebijakan pengembangan OMAI di Tanah Air dapat melihat kebijakan di negara China sebagai pembanding.
“Pemerintah China menjamin ketersediaan sumber daya mulai dari tenaga, produk dan anggaran pengembangan. Lalu obat dan pelayanan pengobatan tradisionalnya ditanggung oleh asuransi pemerintah,” paparnya.