'Pengobatan' Terawan Disorot, Ahli Sebut Tak Ada Bukti Ilmiah
- DPR RI
VIVA –Berita pemberhentian seorang dokter ternama dari keanggotaan Ikatan Dokter Indonesia (IDI) masih menjadi perhatian publik hingga kini. Dialah, mantan Menteri Kesehatan RI Terawan Agus Putranto yang kian menjadi polemik dengan IDI.
Beritanya semakin ramai dengan maraknya para tokoh masyarakat memberi testimoni yang menyatakan bahwa selama ini yang bersangkutan telah berhasil menyembuhkan ribuan orang dengan metoda terapi yang masih diperdebatkan manfaatnya, dan menjadi salah satu penyebab alasan pemberhentian. Dokter Spesialis Jantung sekaligus Pengamat masalah Kesehatan dr. Bambang Budiono, Sp.JP, FIHA. FAPSIC, FSCAI, mengutarakan pendapatnya.
"Sebagai sejawat yang telah menyatakan sumpah sebagai saudara kandung, tentu ikut prihatin dan sedih akan peristiwa tersebut, namun itu suatu keputusan yang telah diambil di forum tertinggi organisasi. Saya tak akan masuk dalam masalah itu, karena tak memiliki interes untuk terlibat dalam pusaran konflik," tuturnya dalam keterangan pers yang diterima VIVA, Jumat 8 April 2022.
Menurut Bambang, salah satu yang seharusnya disorot adalah metode pengujian obat yang harus bisa diterima masyarakat luas, yang mana terkait dengan pengobatan yang diklaim oleh dokter Terawan. Pengobatan apa pun harus melewati berbagai uji agar terbukti keampuhannya dan bukan bermodal testimoni.
"Perlu dipahami, dunia kedokteran tak memberi tempat untuk testimoni karena tak bisa diuji. Sekalipun diucapkan oleh seorang Menteri atau bahkan presiden pun, testimoni tak akan pernah memiliki nilai setara bukti klinis," tegas Bambang.
Beberapa cara yang bisa dipakai menggunakan hasil antara atau “surrogate end point”, misalnya melihat adanya perubahan penanda khusus dari hasil laboratorium, melihat perubahan dari pencitraan khusus (kardiologi nuklir, ekokardiografi, dll) yang digunakan untuk melihat dampak suatu pengobatan.
Upaya lain dalam sebuah metode pengobatan, bisa juga dengan menggunakan data klinis sebagai hasil akhir, misalnya peningkatan kemampuan fisik, penurunan kekerapan dirawat di rumah sakit akibat gagal jantung, penurunan kejadian serangan jantung dan kematian, dan lain lain. Menilai keunggulan suatu metoda pengobatan, bisa dilakukan dengan membandingkan obat atau metoda baru dengan terapi standar (jika sudah ada), atau membandingkan dengan suatu bahan yang tidak aktif yang disebut plasebo.
Metoda penelitian yang terbaik jika dilakukan randomisasi atau acak, pasien dan dokter tak tahu yang mana obat aktif dan mana plasebo, karena kemasan plasebo dibuat sedemikian rupa sehingga menyerupai bentuk obat atau zat aktif, biasanya akan diberi kode dan pada akhir penelitian baru dibuka untuk mengetahui mana yang zat aktif dan mana yang plasebo.
Perlu diketahui, plasebo meskipun bukan suatu zat aktif, bisa memiliki dampak seperti zat aktif, baik khasiat maupun efek sampingnya. Jadi jangan heran jika ada pasien yang memperoleh kapsul berisi tepung, bisa terjadi penurunan kadar gula darah, penurunan tensi, penurunan kadar cholesterol, maupun berkurangnya keluhan klinis.
"Jangan heran juga jika pasien yang memperoleh plasebo mengeluhkan efek samping mirip halnya obat aktif, misal batuk, diare, demam, pusing, dan sebagainya. Nah, penelitian dengan desain yang baik akan menjawab apakah obat atau metoda yang diberikan pada pasien benar benar memiliki manfaat klinis atau tidak," imbuhnya.
Kisah 'Tongkat' Perkins yang Diklaim Ampuh mengobati tanpa uji
Semakin banyak yang terlibat penelitian, semakin kuat kesimpulan yang bisa diambil apakah memang bermanfaat atau tak lebih baik dari plasebo. Memahami tentang efek plasebo, menarik untuk menyitir kembali kisah nyata tentang tongkat Perkins. Elisha Perkins lahir tahun 1741 di Norwich, Connecticut. Pada akhir abad ke-18, perkembangan kedokteran menuntut adanya temuan temuan baru yang bisa lebih menjanjikan kesembuhan. Akibatnya, sekitar tahun 1795–96, Perkins menemukan "Tongkat" ciptaan nya.
"Ia mematenkan alat tersebut selama 14 tahun pada 19 Februari 1796. Tongkat tersebut terdiri dari dua batang logam 3 inci dengan ujung runcing. Meskipun terbuat dari baja dan kuningan, Perkins mengklaim bahwa tongkat ciptaan nya terbuat dari paduan logam yang tidak biasa," ujar dokter Bambang.
Perkins mengklaim tongkatnya bisa menyembuhkan berbagai peradangan, rematik dan nyeri kepala dan wajah. Dia menerapkan titik-titik pada bagian tubuh yang sakit dan menggunakan tongkatnya untuk melakukan penyembuhan selama sekitar 20 menit. Testimoni dari mulut ke mulut membuat metode ini mengalami ‘booming’ dimasa itu. Perkins mengklaim cara ini bisa "mengeluarkan cairan listrik berbahaya yang menjadi penyebab keluhan pasien".
Ikatan Dokter Connecticut mengutuk metoda ini sebagai "perdukunan delusi", dan mengeluarkan Perkins dari keanggotaan. Namun Perkins berhasil meyakinkan tiga fakultas kedokteran AS bahwa metodenya berhasil.
Setelah kematian Perkins, dokter Inggris mulai meragukan kehebatan tongkatnya. Pada tahun 1799, Dr. John Haygarth melakukan uji coba. Ia merawat lima pasien rematik dengan tongkat kayu yang dibuat menyerupai logam. Empat dari mereka melaporkan bahwa rasa sakitnya berkurang. Keesokan harinya pasien dirawat dengan tongkat logam dengan hasil yang sama. Dr. Haygarth melaporkan temuannya dalam publikasi berjudul “On the Imagination as a Cause & as a Cure of the Disorders of the Body”.
"Upaya menggunakan tongkat tersebut untuk menyembuhkan hewan terbukti sia-sia, mungkin karena efek plasebo tak dikenal di dunia hewan," jelasnya.
Hal itu juga menegaskan pentingnya peran penelitian dalam sebuah pengobatan. Tak ada opini yang bisa diterima dalam dunia medis karena butuh riset pasti dan valid untuk membuktikan efektivitas sebuah pengobatan agar dapat diterima masyarakat luas.
"Kisah di atas memperlihatkan betapa besar pengaruh suatu efek plasebo, ketika pasien meyakini bahwa itu bisa menyembuhkan. Tak heran, jika ‘batu Ponari’ pun pernah berhasil menyembuhkan berbagai penyakit pada ratusan orang," seloroh dokter Bambang.