Obesitas di Indonesia Meningkat, Angkanya Mengkhawatirkan

Hamburger, obesitas, kegemukan, kekenyangan
Sumber :
  • pixabay/ jeonomias

VIVA – Menurut Kementerian Kesehatan RI, satu dari tiga orang dewasa Indonesia mengalami obesitas. Bahkan, satu dari lima anak berusia 5 hingga 12 tahun mengalami kelebihan berat badan dan obesitas. Meskipun menimbulkan masalah kesehatan dan dampak ekonomi yang serius dalam sistem perawatan kesehatan, obesitas belum mendapat perhatian serius seperti gangguan kesehatan lainnya. Obesitas diprediksi akan menelan biaya perawatan kesehatan lebih dari 1 triliun dollar pada tahun 2025, dengan jumlah penderita sebesar 800 juta orang di seluruh dunia.

10 Fakta Operasi Bariatrik, Beri Harapan Hidup hingga Perbaiki Kesehatan Mental

“Obesitas di Indonesia meningkat dengan angka kenaikan yang mengkhawatirkan. Menurut Riset Kesehatan Dasar (Riskesdas) 2018, prevalensi obesitas di kalangan orang dewasa Indonesia meningkat hampir dua kali lipat dari 19,1 persen pada 2007 menjadi 35,4 persen pada 2018. Kita benar-benar harus memperhatikan kecenderungan peningkatan obesitas ini,” kata Ketua Bidang Organisasi Himpunan Studi Obesitas Indonesia (HISOBI) dr. Dicky Levenus Tahapary, Sp.PD-KEMD, PhD., dalam keterangan pers Novo Nordisk.

World Health Organization (WHO) mendefinisikan kelebihan berat badan dan obesitas sebagai akumulasi lemak abnormal atau berlebihan yang dapat mengganggu kesehatan. Praktisi kesehatan menggunakan BMI (body mass index atau indeks masa tubuh (IMT)) sebagai metode skrining, dan diagnosis klinis obesitas didasarkan pada kelebihan lemak tubuh abnormal yang mengganggu kesehatan.

Jelita Ramlan Berhasil Turunkan Berat Badan dari 160 Kg Jadi 95 Kg, Ternyata Ini Rahasianya

“Untuk orang Indonesia, BMI pada tingkatan 25 termasuk kategori berat badan berlebih, dan BMI lebih dari 27 dinyatakan sebagai obesitas. Kita juga dapat memanfaatkan lingkar pinggang untuk menilai risiko seseorang terkena penyakit yang disebabkan oleh obesitas. Ukuran pinggang lebih dari 80 sentimeter untuk wanita dan lebih dari 90 sentimeter untuk pria meningkatkan risiko penyakit yang disebabkan oleh obesitas,” lanjut dr. Dicky.

lingkar pinggang, obesitas, kegemukan

Photo :
  • Pixabay/ Bru-No
Bukan Dilarang, Ini Waktu Terbaik Konsumsi Gula agar Tak Gemuk dan Diabetes

Lebih dalam, obesitas sendiri sejatinya bukan masalah sepele yang hanya merusak rasa percaya diri, melainkan bisa berdampak pada fungsi metabolisme tubuh. Dokter Dicky menyebut bahwa obesitas biasanya rentan menimbulkan masalah komorbid seperti diabetes dan kolesterol tinggi hingga berujung pada masalah jantung.

“Obesitas tidak hanya masalah estetika, tetapi juga berkenaan dengan masalah kesehatan yang serius. Orang yang hidup dengan obesitas memiliki risiko lebih besar terhadap penyakit kronis lainnya,” dr. Dicky menegaskan.

Untuk mencegah dan mengatasi obesitas, diet memegang peranan penting. Diet yang biasa dilakukan sebagai bagian usaha untuk menurunkan berat badan, biasanya berfokus pada pembatasan energi untuk mengurangi berat badan. Namun, menurut dokter spesialis gizi klinik, dr. Cindiawaty J. Pudjiadi, MARS, MS. Sp.GK, mengendalikan berat badan tidak cukup dengan usaha mengurangi asupan makanan dan menambah aktivitas olahraga. 

"Kita juga harus memperhatikan apa yang kita makan, bukan hanya seberapa banyak yang kita makan. Mengurangi kalori yang efektif bukan hanya dengan sedikit makan dengan tujuan menekan asupan kalori serendah mungkin," bebernya.

Sebagai bagian dari program kampanye anti-obesitas, Novo Nordisk Indonesia memperbarui TanyaGendis, chatbot WhatsApp yang memberikan informasi tentang diabetes dan obesitas. Setiap orang harus memiliki kesadaran untuk bertindak segera, mulai dengan langkah pertama dan sederhana seperti melakukan cek BMI.

Chatbot TanyaGendis kini telah diperbarui dengan menambah kalkulator BMI sehingga semua orang dapat dengan mudah melakukan cek BMI melalui WhatsApp dan mengetahui apakah mereka memiliki kondisi kelebihan berat badan atau obesitas. Dengan melakukan cek BMI, mereka diharapkan dapat segera berkonsultasi dengan tenaga profesional untuk mencegah risiko yang mungkin terjadi di masa depan.

"Diet tidak bisa disamaratakan makanya perlu ada dokter gizi yang membantu. Kalau sama teman-teman malah dikasihnya camilan gula isinya, itu justru kurang mendukung pasien obesitas. Meal plan yang saya buat seolah-olah awal mirip (antara tiap pasien). Tapi makin ke sini akan berbeda. Meal plan bisa saja berubah tergantung apa yang terjadi pada metabolisme tubuh pasien," pungkasnya.

Halaman Selanjutnya
Halaman Selanjutnya