Dokter Ungkap 3 Penyebab Kerusakan Paru pada Pasien COVID-19
- Freepik/pressfoto
VIVA – Selain mengobati orang yang tengah terinfeksi, saat ini tenaga kesehatan juga menghadapi gejala-gejala post COVID-19. Tak hanya pada seseorang yang sebelumnya bergejala berat saja, gejala-gejala post COVID-19 ini juga banyak dialami oleh seseorang yang pada saat terinfeksi hanya bergejala ringan, bahkan tanpa gejala apapun.
Dokter Spesialis Paru dan Pernapasan RS Pondok Indah, dr. Amira Anwar, Sp.P, FAPSR., menjelaskan, gejala post COVID-19 yang dimaksud antara lain, batuk berdahak atau kering, sesak napas, keterbatasan aktivitas, mudah lelah, sakit kepala, nyeri otot dan persendian, perubahan rasa dan penciuman, perubahan mood, nyeri dada, tenggorokan sakit, serta adanya kelainan pada hasil pemeriksaan laboratorium dan radiologi.
"Gejala yang paling banyak dikeluhkan adalah batuk serta hilangnya indra perasa dan penciuman sekitar 32 persen," ujar dr. Amira dalam keterangannya, Kamis 17 Maret 2022.
Amira menambahkan, untuk menegakkan diagnosis gejala post COVID-19 atau long COVID-19, penyintasnya disarankan untuk berkonsultasi ke dokter dan melakukan beberapa pemeriksaan, seperti tes PCR ulang, pemeriksaan darah, radiologi, rekam jantung, dan pemeriksaan uji fungsi paru.
"Pemeriksaan ini berguna untuk membantu menegakkan diagnosis, guna menangani gejala-gejala post COVID-19 yang masih dirasakan," kata dia.
Amira menjabarkan, ada tiga faktor yang memengaruhi risiko kerusakan paru pada pasien post COVID-19. Apa saja?
Tingkat keparahan penyakit
"Apakah pasien mengalami gejala ringan, sedang, atau berat ketika terinfeksi COVID-19. Pasien dengan gejala ringan cenderung lebih jarang memiliki cedera atau parut yang bertahan lama di jaringan paru," tuturnya.
Kondisi kesehatan
Yaitu, apakah pasien memiliki penyakit komorbid seperti penyakit paru obstruktif kronis (PPOK) atau penyakit jantung yang dapat meningkatkan risiko penyakit bertambah parah. Orang yang berusia lanjut juga lebih rentan mengalami kasus COVID-19 yang parah.
"Hal ini terkait dengan jaringan paru yang sudah mengalami penuaan (degeneratif), sehingga kondisinya lebih tidak fleksibel jika dibandingkan dengan jaringan paru pada seseorang yang berusia lebih muda," ungkapnya.
Tindakan pengobatan
Pemulihan pasien dan kesehatan paru-paru jangka panjang akan bergantung pada jenis perawatan apa yang mereka dapatkan, dan seberapa cepat pengobatan dilakukan. Pada pasien dengan gejala berat, perawatan yang tepat selama di rumah sakit dapat meminimalkan kerusakan paru-paru. Demikian menurut dokter Amira.
"Selain itu, ada enam kelompok yang rentan terhadap post COVID-19 syndrome, yaitu jenis kelamin perempuan, usia di atas 50 tahun, memiliki lebih dari lima gejala ketika terinfeksi, etnis kulit putih, mempunyai komorbid, dan obesitas," kata dia.
Menurut Amira, pasien dengan sindrom pernapasan post COVID-19, biasanya akan diberikan dua jenis terapi.
Terapi farmakologis (obat-obatan)
Pasien diobati sesuai gejala untuk mengurangi batuk dan sesak, serta diberikan vitamin.
Terapi non-farmakologis
Seperti rehabilitasi paru (fisioterapi), terapi oksigen, psikoterapi, olahraga sesuai kemampuan, dan nutrisi.
"Karenanya, pasien sangat disarankan untuk berkonsultasi ke dokter dan melakukan evaluasi pada satu, tiga, dan enam bulan selepas dinyatakan sembuh dari COVID-19," ujar dr. Amira Anwar.