Cara Tepat Jaga Gula Darah Stabil untuk Penyandang Diabetes

Ilustrasi diabetes/gula darah.
Sumber :
  • Pixabay/TesaPhotography

VIVA – Prevalensi penyandang diabetes terus meningkat. Data International Diabetes Federation (IDF) pada tahun 2021 menunjukkan jumlah penyandang diabetes di Indonesia pada tahun 2021 mencapai 19,47 juta orang, menempatkan Indonesia pada posisi kelima sebagai negara dengan jumlah penyandang diabetes terbanyak.

Di Indonesia, berdasarkan data Riset Kesehatan Dasar (Riskesdas) tahun 2013 dan tahun 2018 menunjukkan bahwa tren prevalensi penyakit diabetes melitus (DM) di Indonesia meningkat dari 6,9 persen menjadi 8,5 persen, prevalensi penyakit DM menurut diagnosis dokter meningkat dari 1,2 persen menjadi 2 persen. 

Permasalahan terkait penyakit DM saat ini adalah sebagian besar (sekitar 3 di antara 4 orang) penyandang DM tidak menyadari kalau dirinya menderita penyakit DM dan kurangnya kesadaran para penyandang ini untuk melakukan kontrol berkala.

Diabetes Serap Dana BPJS

Ilustrasi pengecekan diabetes.

Photo :
  • Pixabay/TesaPhotography

Dalam diskusi publik "Layanan Tatalaksana Penyakit Kronis Terintegrasi dan Inovatif" yang diselenggarakan oleh Lembaga Riset Ikatan Dokter Indonesia (IDI) pertengahan Desember 2021, Ketua Pengurus Besar IDI, dr. Daeng M. Faqih, SH, MH menyatakan, Ada dua hal yang perlu digarisbawahi terkait pelayanan penyakit kronis seperti diabetes.

"Pertama, rata-rata penyakit kronis lebih banyak menghabiskan pembiayaan di BPJS dan lebih rumit pelayanannya. Apalagi penyakit kronis yang tidak rutin diobati akan menjadi lebih berat, menyerap banyak pembiayaan di BPJS serta pelayanannya lebih kompleks," tutur dokter Daeng, dalam keterangan pers Good Doctor.

Kedua, tambahnya, penyakit kronis mempercepat timbulnya penyakit berikutnya yang masuk ke keranjang penyakit degeneratif. Kalau kondisi kronis sudah masuk ke penyakit yang bersifat degeneratif, akan menurunkan kondisi sel-sel tubuh dan menurunkan fungsi sel tubuh tersebut.

"Kondisi itu yang menyebabkan produktivitas penyandang jauh menurun," imbuh Daeng.

Prevalensi DM yang terus meningkat berkontribusi terhadap peningkatan pembiayaan BPJS. Merujuk data Kementerian Kesehatan, total biaya penyakit katastropik pada rentang waktu 20142016 mencapai Rp36,3 triliun atau 28 persen dari total biaya pelayanan kesehatan rujukan.

Peringkat biaya teratas diduduki oleh hipertensi dengan jumlah biaya Rp 12,1 triliun, disusul dengan diabetes mellitus sebesar Rp9,2 triliun, penyakit jantung koroner sebesar Rp 7,9 triliun, dan gagal ginjal kronis sebesar Rp6,8 triliun. 

Rutin Pantau Kondisi Diabetes

Ilustrasi diabetes/gula darah.

Photo :
  • Pixabay/TesaPhotography

Dokter Daeng memaparkan, pemantauan penyakit kronis tidak hanya datang sekali, diobati kemudian sembuh. Kesinambungan pengobatan dan pemantauan harus dilakukan dengan baik agar pelayanan penyakit kronis ini dapat terlaksana dengan baik dan penyandangnya dapat terpantau dengan baik. 

"Dengan inovasi teknologi digital, lebih memungkinkan untuk memberikan layanan yang berkesinambungan, terpantau dengan baik, lebih cepat, dan lebih sering. Manfaatnya sangat besar jika teknologi digital dalam layanan tatalaksana penyakit kronis dilakukan dengan baik,” ujar dr. Daeng.

Senada dengan hal itu, Prof. Dr. dr. Ketut Suastika, SpPD-KEMD, Ketua Perkumpulan Endokrinologi Indonesia (PERKENI) mengatakan, karena DM merupakan penyakit kronis yang sifatnya tidak berubah setiap saat, bukan harian, maka tepat sekali untuk menerapkan pelayanan telemedicine pada pasien-pasien DM. 

"Saya yakin bahwa telemedicine juga memperbaiki sekaligus mempercepat akses layanan kesehatan, terutama bagi mereka dengan berbagai kendala," pungkasnya.

Pentingnya Kepatuhan Pengobatan Diabetes

Ilustrasi diabetes.

Photo :
  • vstory

Padahal, faktor kunci dalam pengelolaan penyakit kronis adalah kepatuhan pasien terhadap pengobatan. Oleh karena itu, Kementerian Kesehatan mencanangkan Prolanis (Program Pengelolaan Penyakit Kronis). 

Dalam presentasinya pada diskusi publik tersebut, Dr. dr. Mahlil Ruby, M.Kes., Direktur Perencanaan, Pengembangan dan Manajemen Risiko BPJS Kesehatan menyatakan, Prolanis adalah sistem pelayanan kesehatan dengan pendekatan proaktif terintegrasi, melibatkan peserta, fasilitas kesehatan dan BPJS Kesehatan dalam rangka pemeliharaan kesehatan bagi peserta penyandang penyakit kronis, khususnya DM Tipe 2 dan Hipertensi untuk mencapai kualitas hidup yang optimal dengan biaya pelayanan kesehatan yang efektif dan efisien.

Peran Telemedicine untuk Diabetes

Diabetes

Photo :
  • Times of India

Good Doctor Technology Indonesia (GDTI) mengambil inisiatif untuk merintis studi percontohan yang sangat relevan dan tepat waktu dalam kerangka sketsa Prolanis untuk mendorong penggunaan telemedicine dalam pengobatan diabetes.

Head of Medical Good Doctor Technology Indonesia (GDTI), dr. Adhiatma Gunawan, menyatakan, studi percontohan tatalaksana penyakit kronis ini merupakan bagian dari komitmen Good Doctor untuk selalu mendorong sinergi berkelanjutan antara layanan telemedicine dan proses transformasi sektor kesehatan Indonesia secara strategis. 

"Kami percaya bahwa telemedicine berpotensi untuk membantu mendorong perkembangan kesehatan pasien, dan bahkan dapat menekan serta mengurangi biaya perawatan kronis BPJS dalam jangka panjang," jelasnya.

Latar belakang studi percontohan ini adalah Indonesia memiliki lebih dari 19 juta pasien diabetes dan hal tersebut berkontribusi pada beban biaya yang sangat besar bagi BPJS, diabetes adalah salah satu penyakit tidak menular (PTM) teratas di Indonesia dan faktor kunci keberhasilan manajemen diabetes adalah kepatuhan dalam pengobatan, serta saat ini belum ada program yang dirancang untuk pemantauan pasien di Indonesia.

Pantau Gula Darah Diabetes dengan Teknologi

Mengenal Diet Autofagi yang Disarankan Dokter! Turunkan BB, Cegah Kanker Hingga Jaga Kesehatan Jantung

Ilustrasi Diabetes

Photo :
  • U-Report

Secara khusus, penelitian ini memiliki dua tujuan utama. Pertama, untuk mendapatkan bukti keterkaitan antara hasil klinis yang baik dengan peran dukungan aktif telemedicine. Kedua, mengukur efektivitas telekonsultasi dalam pemantauan target kadar gula darah. Penelitian dilakukan dalam dua fase, yaitu kualitatif dan kuantitatif. 

Hari Kesehatan Nasional, Catatan PB IDI: Permasalahan di Indonesia Sangat Kompleks dan Beragam

Fase 1 (kualitatif) melibatkan 15 responden (rentang usia 4570 tahun) yang terbagi dalam tiga kelompok dalam focus group discussion (FGD) melalui Google Meet dan Microsoft Team, berlangsung pada Desember 2020. Pada fase 2 (kuantitatif), pengamatan terhadap responden berlangsung selama tiga bulan (pemantauan kadar gula darah). Dari jumlah tersebut, sebagian pasien menggunakan aplikasi Good Doctor untuk mendapatkan intervensi treatment. 

Sementara sisanya, berperan sebagai kelompok kontrol yang tidak menggunakan aplikasi Good Doctor. Penelitian ini juga melibatkan sejumlah klinik BPJS Kesehatan di Bekasi, Bogor dan Depok, yang berperan sebagai pendamping responden dalam pengamatan kadar gula darah.

Benarkah Kolesterol Tinggi dan Asam Urat Sebabkan Kanker Pankreas?

Hasil penelitian fase 1 menunjukkan bahwa monitoring diabetes yang dilakukan lewat aplikasi Good Doctor mendapat penerimaan positif dari responden. Platform tersebut punya potensi untuk mendukung pengamatan keadaan pasien diabetes, terutama self-care monitoring pada perkembangan kondisi kesehatannya. 

Hasil penelitian fase 2 menunjukkan kelompok yang menggunakan aplikasi Good Doctor secara penuh mengalami penurunan kadar gula darah hingga akhir tiga bulan pemantauan. Sedangkan kelompok dengan intensitas keterlibatan tidak penuh, kondisi gula darahnya relatif tidak berubah.

Rata-rata kadar gula darah kelompok kontrol atau yang tidak menginstal aplikasi Good Doctor lebih tinggi dibandingkan kelompok yang menginstal aplikasi Good Doctor (treatment).

“Telemedicine tidak bisa menyelesaikan 100 persen masalah. Secara mayoritas kami dapat memberikan analisis. Untuk DM relatif bisa karena tidak fluktuatif setiap hari. Apalagi jika dikaitkan dengan pemantauan gula darah. Alat-alat seperti self monitoring blood glucose meters dapat dilakukan sendiri di rumah. Nanti hasilnya tinggal dikonsultasikan dengan dokter," pungkas Anggota Bidang Riset dan Publikasi Ilmiah IDI, dr. Aditiawarman Lubis, MPH.

Halaman Selanjutnya
Halaman Selanjutnya