Setengah Juta Kematian COVID-19 Omicron, WHO: Ini Tragis
- pixabay
VIVA – COVID-19 varian Omicron tak bisa disepelekan lantaran terbukti dapat memicu kematian. Hal itu disesalkan oleh Organisasi Kesehatan Dunia (WHO) yang mencatat sekitar setengah juta kematian COVID-19 terjadi sejak varian Omicron ditemukan.
Manajer insiden WHO Abdi Mahamud mengatakan bahwa 130 juta kasus dan 500.000 kematian telah dicatat secara global, sejak Omicron dinyatakan sebagai varian perhatian pada akhir November 2021 lalu. Dengan jumlah kasus tersebut, pihak WHO menyebut kondisi ini tragis.
“Di saat vaksin yang efektif, setengah juta orang meninggal, itu benar-benar sesuatu," ujar Mahamud mengatakan kepada interaksi langsung di saluran media sosial WHO, dikutip dari laman NDTV, Kamis, 10 Februari 2022.
Sejak varian Omicron dengan cepat mengambil alih Delta sebagai varian COVID-19 yang dominan di dunia, karena sifatnya lebih mudah menular, tampaknya menyebabkan penyakit dengan gejala ringan. Itu tercatat dari banyaknya laporan di berbagai negara. Faktanya, puluhan pasien harus meregang nyawa akibat paparan Omicron.
"Sementara semua orang mengatakan Omicron lebih ringan, (mereka) melewatkan titik bahwa setengah juta orang telah meninggal sejak ini terdeteksi. Ini lebih dari tragis," imbuhnya.
Senada, pimpinan teknis WHO untuk COVID-19, Maria Van Kerkhove, mengatakan banyaknya kasus Omicron “mengejutkan”, sementara jumlah kasus dan kematian sebenarnya akan jauh lebih tinggi daripada yang diketahui. Namun, banyak negara belum melewati puncak kasus Omicron.
“Itu membuat puncak-puncak (kasus) sebelumnya terlihat hampir datar. Kita masih berada di tengah pandemi ini. Harapannya semakin mendekati akhir," katanya.
Van Kerkhove mengatakan dia sangat prihatin bahwa jumlah kematian telah meningkat selama beberapa minggu berturut-turut. WHO melacak empat sub-garis keturunan Omicron. Sementara sub-regangan BA.1 dominan, BA.2 lebih mudah menular dan diperkirakan bertanggung jawab atas meningkatnya kasus Omicron.
Van Kerkhove mengatakan, sejauh ini tidak ada indikasi yang menunjukkan bahwa BA.2 mengakibatkan penyakit COVID-19 yang lebih parah daripada BA.1, tetapi menekankan bahwa kesimpulannya masih terlalu dini. Para pakar masih berusaha mengumpulkan bukti-bukti keganasan virus ini.