Prof Tjandra: Omicron, Breakthrough Infection & Suseptibilitas Genetik
- Istimewa
VIVA – Hari-hari ini di rumah saya ada enam orang yang positif COVID-19, semuanya sudah pernah PCR (+) juga tahun yang lalu, jadi ini sakit yang ke dua kali. Semuanya juga sudah divaksin dua kali, kecuali Cucu saya yang baru berumur 5 tahun. Juga, lima orang yang di rumah saya itu sudah di vaksin sesudah mereka sembuh dari sakit tahun yang lalu, jadi harusnya sudah sesuai dengan fenomena “super immunity”, tapi toh ternyata sekarang terinfeksi kembali. Setidaknya ada tiga kemungkinan kenapa seseorang dapat terinfeksi COVID-19 kembali walaupun sebelumnya sudah pernah sakit dan bahkan sudah di vaksin.
Pertama adalah karena sekarang yang menyerang adalah varian Omicron. Sudah banyak penelitian yang menyebutkan bahwa varian Omicron ini memang dapat menembus pertahanan tubuh yang terbentuk karena seseorang pernah sakit sebelumnya. Ada penelitian yang menyebut dua atau tiga atau lima kali lebih sering. Ada juga peneltian lain menunjukkan risiko relatif terinfeski ulang adalah 6,36 kali pada yang belum divaksin dan 5,02 kali pada yang sudah divaksin. Jadi walaupun sudah divaksin maka kemungkinan tetap terinfeksi Omicron memang mungkin terjadi, hanya diharapkan tanpa gejala atau keluhannya ringan saja.
Kedua, orang dapat tetap sakit walaupun sudah divaksin lengkap, dan bahkan mungkin sesudah dapat booster, karena memang efikasi vaksin tidaklah 100 persen, jadi masih mungkin akan ada yang sakit, yang disebut “breakthrough infection”, yang derajatnya dinilai dalam bentuk “breakthrough infection rate” (“B-Infection rate”). Tapi yang jelas memang pemberian vaksin secara lengkap ,apalagi kalau dengan booster akan secara bermakna mengurangi angka masuk rumah sakit dan jauh mengurangi kemungkinan penyakitnya jadi memberat. Akan amat baik kalau kita di Indonesia juga menghitung angka “B-Infection rate” dan menyampaikannya ke masyarakat luas.
Kemungkinan ke tiga adalah status suseptibilitas genetika seseorang. Yang sudah diteliti a.l peran polimorfisme ACE2, fenomena “type 2 transmembrane serine proteases (TMPRSS2)” dan genotype “HLA-B*15:03” yang dihubungkan dengan kejadian sakit. Memang bukti ilmiah untuk ini belumlah terlalu jelas, tetapi akan baik kalau dilakukan juga penelitian suseptibilitas genetika COVID-19 di Indonesia
Prof Tjandra Yoga Aditama
Direktur Pasca Sarjana Universitas YARSI / Guru Besar FKUI
Mantan Direktur WHO Asia Tenggara dan Mantan Dirjen P2P & Ka Balitbangkes