Penyebab Pasien Kanker Paru Hanya Bertahan Hidup Hitungan Bulan

Ilustrasi kanker paru
Sumber :
  • Times of India

VIVA – Data dari jurnal The Lancet Oncology, salah satu jurnal penelitian dari Eropa tahun 2014 memperlihatkan, hanya sekitar 13,7 persen pasien kanker paru yang masih bertahan dalam lima tahun setelah diagnosis ditegakkan.

Menkes Budi Blak-blakan Indonesia Masih Tertinggal dalam Penyediaan Produk Medis Inovatif

Sementara rata-rata lama hidup pasien setelah diagnosis kanker paru adalah delapan bulan. Tidak hanya menjadi salah satu jenis kanker paling mematikan di dunia dan Indonesia, kanker paru juga menjadi penyakit dengan dampak yang multidimensi. 

Berdasarkan penelitian dari Japanese Journal of Clinical Oncology tahun 2014, pasien dengan kanker paru memiliki kualitas hidup yang lebih rendah dibandingkan pasien kanker lainnya, dikarenakan tekanan mental yang dirasakan. 

Pekerja Sektor Keuangan di Indonesia Alami Stres, Ini 3 Faktor utamanya

Karena biaya pengobatannya yang besar, kanker paru juga berpotensi memengaruhi produktivitas keluarga atau pengasuh pasien, yang seringkali semestinya sedang berada dalam masa puncak produktivitas mereka. Berbagai jurnal penelitian dari Eropa dan Amerika menunjukkan, dampak ekonomi dan sosial kanker paru diperkirakan yang terbesar di antara semua jenis kanker.

Kematian akibat kanker paru dapat dicegah, tingkat kesintasan pasien dapat meningkat, dan biaya kesehatan dapat dihemat apabila diagnosis dan tata laksana yang tepat dilakukan lebih awal. Di Inggris Raya, 83 persen pasien yang didiagnosis di stadium I masih hidup satu tahun setelah diagnosis, dibandingkan dengan 17 persen yang didiagnosis di stadium IV.

Hati-hati, Saraf Kejepit yang Tak Diobati Bisa Berujung Stroke dan Merambat ke Organ Vital Lain

Sekretaris Jenderal Perhimpunan Onkologi Indonesia Rumah Sakit Kanker Dharmais, Pusat Kanker Nasional, dr. Evlina Suzanna, SpPA, menjelaskan, jumlah kasus kanker paru di Indonesia semakin meningkat tiap tahunnya. Selain itu, usia penderita kanker paru pun semakin muda. 

"Pasien kanker paru perlu mendapatkan pelayanan yang komprehensif, dimulai dari kepedulian terhadap bahaya kanker paru, skrining atau deteksi dini, diagnosis, dan pengobatan sedini dan setepat mungkin," ujarnya saat konferensi pers memperingati Hari Kanker Sedunia, yang digelar virtual, Selasa 8 Februari 2022. 

Menurutnya, hal ini bertujuan untuk meningkatkan peluang kesintasan dan mengurangi beban biaya kesehatan penyintas kanker paru. 

"Selain itu, diperlukan kolaborasi aktif antar berbagai pihak, baik pemerintah, swasta, dan masyarakat serta payung kebijakan yang terintegrasi untuk mendukung penatalaksanaan kanker paru yang komprehensif," kata dia. 

Ilustrasi batuk.

Photo :
  • Freepik/drobotdean

Hal itu mencakup tersedianya sumber daya manusia yaitu tim ahli yang multidisiplin, kemudahan akses terhadap fasilitas kesehatan, ketersediaan obat-obatan, alat kesehatan, dan pembiayaan untuk pelayanan berkualitas. Di mana hal tersebut diharapkan mampu menjangkau semakin banyak pasien kanker paru dan meningkatkan harapan hidup penyintas kanker paru di Indonesia.

Berada dalam ruang diskusi yang sama, Direktur Eksekutif Research of Indonesian Association for the Study on Thoracic Oncology (IASTO), Prof. dr. Elisna Syahruddin, Ph.D., Sp.P(K)Onk, menyampaikan, pengendalian faktor risiko kanker paru merupakan salah satu langkah penting untuk mencegah dan menurunkan jumlah insiden kanker paru di Indonesia. 

"Faktor risiko kanker paru ini utamanya disebabkan oleh kebiasaan merokok dan terpapar asap rokok secara terus-menerus. Apalagi bila disertai faktor risiko lain misalnya paparan zat karsinogen di tempat kerja atau riwayat kanker paru dalam keluarga," ungkapnya. 

Maka dari itu, menurut Prof. Elisna, skrining dan deteksi dini sangat diperlukan agar pasien kanker paru ditemukan pada stadium dini, sehingga upaya untuk meningkatkan angka tahan hidup (kesintasan) dapat dicapai.

"Banyak negara telah menerapkan kebijakan skrining dengan  menggunakan low-dose CT scan (LDCT) untuk deteksi dini kanker paru. Kebijakan tersebut didukung oleh hasil studi di Amerika Serikat, Kanada, dan Eropa yang menunjukkan efektivitas biaya dalam program skrining kanker paru. Jadi, harapannya di Indonesia kanker paru pun bisa segera masuk ke dalam program deteksi dini dari Kementerian Kesehatan," paparnya. 

Skrining pada kanker paru ini diharapkan bisa dilakukan bagi masyarakat luas yang memiliki faktor risiko tinggi. Terutama yang terpapar asap rokok, apalagi mereka yang merupakan perokok berat dan mempunyai riwayat kanker paru dalam keluarganya.

"Pilihan terapi di Indonesia juga harus sesuai dengan karakteristik kanker paru orang Indonesia. Terkait metode diagnosis, kemajuan teknologi medis juga telah memungkinkan dilakukannya pemeriksaan molekuler untuk pasien yang telah terdiagnosis kanker paru, guna memberikan pilihan terapi target yang tepat," tuturnya. 

"Dengan demikian, diharapkan dapat meningkatkan luaran klinis dan menghemat biaya perawatan secara menyeluruh. Berdasarkan hasil penelitian ditemukan peran gen EGFR, AlK dan PD-L1 untuk pilihan terapi target yang optimal," kata Prof. Elisna Syahruddin.

Halaman Selanjutnya
Halaman Selanjutnya