Angka Kematian Akibat Kanker Paru Tinggi di Indonesia, Ini Sebabnya
- Pixabay/skeeze
VIVA – Menurut data Global Cancer Observation (Globocan), saat ini kanker paru menjadi salah satu jenis kanker dengan angka kejadian tertinggi di Indonesia. Dengan perkiraan sekitar 34.783 kasus baru dan 30.843 kematian akibat kanker paru selama tahun 2020.Â
Direktur Eksekutif, Research of Indonesian Association for the Study on Thoracic Oncology (IASTO), Prof. dr. Elisna Syahruddin, Sp.P(K), Ph.D., mengungkap alasan mengapa angka kematian akibat kanker paru cenderung tinggi di Indonesia.Â
"Angka mortalitas atau kematian kanker paru tinggi karena sebagian besar kanker paru datang pada stadium lanjut," ungkapnya saat saat konferensi pers memperingati Hari Kanker Sedunia, yang digelar virtual oleh Roche Indonesia, Selasa, 8 Februari 2022.Â
Kemudian penyebab berikutnya menurut Prof. Elisna adalah, sebelum era target diterapi, kemoterapi yang dianggap sebagai sistemik terapi, memberikan hasil yang sama.Â
"Jadi apa pun obat atau regimen yang kita gunakan, itu hasilnya akan sama. Itu tidak akan berpengaruh terlalu tinggi kalau hanya kemoterapi," kata dia.Â
Elisna turut mengungkapkan hasil penelitian yang menemukan bahwa jika kemoterapi dikombinasikan dengan radioterapi, maka harapan hidup pasien kanker menjadi tinggi.Â
"Kemudian muncul lah era targeting therapy. Kita lakukan penelitian hampir semua, gen-gen yang dapat digunakan dalam terapi kanker paru itu kita lakukan," paparnya.Â
Menurut Eslina, faktor ras juga turut memengaruhi angka mortalitas kanker paru.Â
"Di Indonesia agak sedikit berbeda. Misalnya, mutasi di Asia sangat tinggi, terutama pada ras China di atas 50. Ternyata Indonesia enggak tinggi-tinggi banget, 44 persen. Ternyata di Indonesia sendiri, antar suku juga berbeda. Jadi suku-suku yang ada di Indonesia Barat, mutasi gennya lebih rendah ketimbang Jawa. Jadi kemungkinan dia untuk mendapatkan targeting therapy lebih tinggi. Berbeda dengan orang yang ada di Sumatera," tuturnya.Â
Faktor lain yang tak kalah berpengaruh, menurut Eslina adalah, karena di Indonesia sendiri, boleh menolak immunotherapy.
"Melalui join research, dari beberapa peneliti itu menunjukkan Indonesia boleh menolak immunotherapy tapi dengan syarat. Sayangnya, dalam penentuan kebijaksanaan obat kadang-kadang data kita enggak dipakai," imbuh Prof. Elisna Syahruddin.