IDI Sebut Resep Obat Melalui Telemedicine Bisa Berbahaya
- Freepik
VIVA – Tren telemedicine sudah kian diminati masyarakat semenjak pandemi COVID-19 melanda dunia. Manfaat yang didapatkan tentu tak main-main lantaran dapat mempermudah akses pelayanan kesehatan yang sejalan dalam upaya mencegah penularan COVID-19.
Telemedicine merupakan bentuk praktik medis yang dijalankan secara jarak jauh melalui pemakaian teknologi. Dijelaskan Ketua Ikatan Dokter Indonesia, M. Adib Khumaidi, bahwa hal ini menjadi bagian penting dalam memproteksi masyarakat dalam mencegah penularan yang rentan terjadi saat proses konsultasi tatap muka.
Namun di sisi lain, Adib menilai telemedicine bisa membahayakan apabila sudah masuk dengan kategori pemberian resep obat. Sebab, pemberian resep obat harus sesuai dengan riwayat kesehatan pasien yang mana biasanya tertulis dalam buku rekam medis yang ada di fasilitas kesehatan.
"Kalau dokternya bekerja di fasilitas kesehatan tertentu dan berikan resep, nggak apa-apa. Tapi kalau ada pasien baru dan tidak tahu ada rekam mediknya, maka itu berpotensi masalah hukum juga," tutur Adib dalam acara virtual Indonesia Digital Conference, Kamis 25 November 2021.
Pada pasien baru, kata Adib, tanpa adanya rekam medis maka tak ada dokter yang mengetahui riwayat kesehatan terdahulu seperti bentuk alergi, pemberian obat sebelumnya, hingga jenis perawatan yang pernah dijalani. Apabila asal memberikan resep sesuai kondisi dan keluhan saat itu saja, tanpa mengindahkan riwayat kesehatan di masa lalu, khawatir obat yang diberikan dapat menimbulkan masalah baru.
"Ini yang perlu dilindungi. Masalah resep ini kajiannya adalah kita harus selesaikan kajian regulasinya terkait rekam medik elektronik, apakah bisa dilakukan," tutur dokter Adib.
Lebih dalam, Adib menilai sejauh ini survei menunjukkan bahwa telemedicine bermanfaat namun baru sekadar untuk konsultasi virtual. Selebihnya, seperti telemonitoring dan sebagainya, kata Adib, belum semua fasilitas kesehatan siap menjalaninya.
"Belum semua RS siap telemedisin. Artinya nggak semua faskes siapkan semua fasilitasnya. Lebih ke arah komunikasi biasa, nggak spesifik. Belum ada standard untuk komunikasi," terangnya.
Adib menambahkan bahwa perlu ada ketentuan khusus saat menjalani praktik telemedicine. Pada praktiknya, belum ada regulasi lebih rinci terkait pemakaian telemedicine baik itu pada pasien dan tenaga kesehatan.
"Di aplikasi kadang-kadang beri layanan dan dianggap sebagai faskes digital bukan? Karena ada satu potensi hukum yang berisiko. Harus ada perlindungan hukum terhadap nakes dan pasiennya," tegas Adib.