Tarif PCR Turun Jadi Rp275 Ribu, Pemerintah Diminta Kaji Ulang
- Pixabay/neelam279
VIVA – Kebijakan untuk menurunkan tarif tes PCR dinilai Pemerintah Indonesia sangat efektif untuk mencegah terjadinya ledakan kasus COVID-19 selama akhir tahun 2021 ini. Terutama, untuk mengantisipasi tingginya kasus yang diprediksi akan mulai melonjak bertepatan dengan momentum Natal dan Tahun Baru.
Jika sebelumnya tes PCR berkisar di Rp495 ribu, namun dengan kebijakan baru, masyarakat dapat melakukan tes PCR dengan tarif maksimal Rp275 ribu di Pulau Jawa, Bali dan Rp300 ribu di luar Pulau Jawa, Bali. Tarif ini sudah resmi diberlakukan sejak Rabu, 27 Oktober 2021.
Sayangnya, kebijakan tersebut dinilai tidak bersinergi dengan para penyedia fasilitas layanan tes PCR. Hal ini dipicu dari perubahan tarif tertinggi yang diputuskan oleh pemerintah tidak melibatkan rumah sakit, perhimpunan dokter-dokter yang berkaitan dengan COVID-19, perusahaan penyedia layanan dan laboratorium Tes COVID-19.
Keputusan penurunan harga dianggap dilakukan sepihak oleh pemerintah. Bukan tanpa alasan, harga yang ditetapkan pemerintah mengalami penurunan yang dinilai cukup drastis, dan tidak adanya iktikad subsidi bahan habis pakai dari pemerintah, membuat para penyedia layanan tes PCR harus memutar otak untuk mengakali harga bahan baku, seperti reagen yang sangat tinggi dan biaya operasional untuk tenaga kesehatan dan bahan baku laboratoium mandiri. Sebab, di Indonesia sendiri, bahan baku habis pakai, mayoritas masih diimpor dari luar negeri.
Selain itu, para penyedia layanan PCR juga harus mempertimbangkan sumber daya manusia yang bekerja di laboratorium dan di lapangan serta para tenaga kesehatan dan analis laboratorium yang menjadi garda terdepan saat ini. Keamanan tenaga kesehatan dapat menjadi taruhan dengan adanya kemungkinan pemotongan biaya operasional yang berefek dari penurunan tarif tertinggi tes PCR yang telah diatur.
Representative Bumame Farmasi, Nathasa, mengatakan, sebagai penyedia layanan kesehatan, mereka mempertimbangkan, perlu diadakan pertemuan dengar pendapat antara penyedia jasa layanan PCR dengan Pemerintah. Selain itu, menurut dia, sosialisasi sangat dibutuhkan jika pemerintah ingin mengkaji harga Swab Test.
"Hal ini demi menemukan jalan tengah, terkait pengkajian harga PCR yang terjangkau bagi semua kalangan. Sehingga pemerintah dapat memberikan solusi alternatif terkait bahan baku reagen dan mayoritas bahan baku lainnya yang sifatnya masih impor," ujarnya saat ditemui di salah satu cabang Bumame yang terletak di kawasan Jakarta Selatan.
"Pertimbangan lain yang menjadi penentu harga selain bahan baku, banyak biaya lainnya seperti APD standar Kemkes, kelengkapan yang menjamin kemanan Tenaga Kesehatan dan upah para Tenaga Kesehatan, dokter, Analis Laboratorium dan juga kebutuhan habis pakai lainnya yang menjadi salah satu pertimbangan kami dalam menurunkan tarif PCR sesuai arahan Pemerintah," sambungnya.
Instruksi tersebut juga menuai berbagai kritik dari para ahli Epidemiolog. Bahkan, para ahli menekan Pemerintah untuk mengkaji ulang dikarenakan risiko besar yang bisa dialami oleh masyarakat luas. Penurunan harga yang mendesak ini dapat memengaruhi kualitas testing di Indonesia menjadi turun.
"Kebijakan Pemerintah seperti tawar-menawar. Harusnya Pemerintah mengkaji ulang kebijakan ini dan bukan diturunkan harganya. Jadi, itu salah bener Pemerintah," pandang Epidemiolog FKM UI, Tri Yunis Wahyono, dikutip dari wawancara kepada tvOne, beberapa waktu lalu.
Tri Yunis memandang, Pemerintah terlalu mudah menurunkan harga. Menurutnya, jangan sampai kualitas digadaikan demi harga yang lebih rendah. Dan keputusan tersebut dianggap terlalu berisiko.
“Kalo kemahalan diturunin, aduh itu gampang banget kebijakan itu. Betapa gampangnya menurunkan harga, menurut saya bukan itu solusinya," pungkas Tri Yunis Wahyono.