Waspada, Penderita Obesitas Berisiko Tinggi Infeksi Daerah Operasi
- Pixabay
VIVA – Infeksi daerah operasi (IDO) atau surgical site infection (SSI) adalah kondisi ketika patogen berkembang biak di tempat sayatan bedah, mengakibatkan infeksi yang terjadi di daerah operasi dalam suatu kurun waktu 30 hari pascabedah, atau hingga 1 tahun pascabedah apabila tindakan bedah tersebut menggunakan implan.
Insiden IDO di Indonesia bervariasi antara 2-18% di tahun 2011. Laporan dari Rumah Sakit Cipto Mangunkusumo tahun 2013 menyebutkan insiden IDO pada bedah abdomen sebesar 7,2% dan tahun 2020 dilaporkan 3,4%.
IDO menyebabkan kematian 3 kali lipat lebih tinggi dan beban biaya yang lebih tinggi karena durasi rawat inap yang signifikan lebih tinggi dan diperlukannya intervensi medis tambahan seperti misalnya operasi ulang, akibat IDO.
Dokter Spesialis Bedah Konsultan Bedah Digestif & Tim penyusun CPG IDO, Dr. dr. Warsinggih, Sp.B-KBD, menjelaskan, terdapat beberapa faktor yang berhubungan dengan IDO yang saling mempengaruhi satu dengan lainnya.
Faktor risiko tersebut adalah risiko pada penderita terutama dengan komorbid, meliputi hiperglikemia (tingginya kadar glukosa darah yang tidak terkendali), gizi buruk, obesitas, gangguan sirkulasi iskemia (kekurangan suplai oksigen ke organ atau jaringan), hipoksia (kekurangan oksigen dalam jaringan), dan hipotermia (suhu tubuh rendah).
“Obesitas merupakan faktor risiko utama sejumlah penyakit yang dapat mempengaruhi keberhasilan operasi. Peningkatan obesitas di Indonesia terjadi signifikan yakni sebesar 14,8% pada data Riskesdas 2013 dan menjadi 21.8% pada Riskedas 2018. Seseorang dengan obesitas memiliki kemungkinan terpapar IDO sebesar 1.1 – 4.4 kali lipat, dengan sebab yang beragam, antara lain karena peningkatan massa lemak mengakibatkan lemahnya sistem imun sehingga pasien rentan terhadap infeksi,” kata dia dalam virtual conference, Kamis 28 Oktober 2021.
Selain faktor risiko pada penderita, IDO ini terdapat juga faktor risiko mikroorganisme dan faktor lingkungan ruang operasi serta personil bedah yang dapat diminimalisir untuk menurunkan kejadian IDO.
Untuk hasil operasi yang maksimal, semua spesialis bedah yang terlibat dalam perawatan luka pasca operasi harus memahami dan melakukan pengawasan dalam proses penyembuhan luka operasi termasuk pemilihan balutan pascabedah, kata dia.
"Terkait tatalaksana pascabedah, rekomendasi antara lain melakukan penggantian balutan dan membersihkan luka 48 jam pasca bedah dan melakukan perawatan luka menggunakan balutan interaktif (modern dressing, advanced dressing) yang dilakukan secara selektif dan sesuai indikasi," kata Warsinggih.
Terkait perawatan luka pasca operasi, Warsinggih menekankan pentingnya menjelaskan kepada pasien atau keluarganya untuk menjaga kondisi luka operasi agar tetap terjaga dengan baik.
Untuk penyembuhan yang optimal beberapa hal dapat dilakukan yaitu: pertama, ikuti dengan seksama petunjuk penggunaan obat yang diberikan dokter dan konsumsi makanan dan minuman yang bergizi.
Kedua, jangan dikelupas apabila terdapat bagian luka yang gatal atau kering. Biasanya relatif aman untuk mandi setelah 48 jam pascabedah, bila luka operasi ditutup menggunakan balutan / perban yang tahan air (waterproof).
Ketiga, jika diperbolehkan untuk mengganti balutan / perban sendiri, cuci tangan dengan sabun terlebih dahulu dan usahakan tidak menyentuh area luka operasi. Pasang perban secara hati-hati, jangan menyentuh bagian dalam dari balutan, dan tidak mengoleskan krim antiseptik di bawah balutan/perban.
Terakhir, jika ada kecurigaan pada luka, misalnya bertambah nyeri, atau berbau tidak sedap, segera konsultasikan kepada Dokter atau tenaga medis lainnya.