Vaksin COVID-19 Bikin Mandul dan Ubah DNA? Ini Penjelasan Pakar

Ilustrasi vaksin COVID-19.
Sumber :
  • Pixabay/pearson0612

VIVA – Selain kepatuhan protokol kesehatan yang ketat, vaksinasi juga memegang peranan penting dalam menekan penyebaran COVID-19 di masyarakat. Namun sayangnya, tidak sedikit masyarakat yang masih enggan melakukan vaksinasi COVID-19 lantaran disinformasi terkait vaksin yang mereka dapatkan terutama dari media sosial.

Rumah Sakit Islam Jakarta Blak-Blakan Penyebab Bayi Meninggal yang Sempat Dikira Tertukar

Oleh karena itu, masyarakat diimbau untuk tidak langsung mempercayai informasi yang belum jelas kebenarannya. Ahli vaksin yang berspesialisasi dalam bidang epidemiologi pneumokokus, Dr. Katherine O'Brien menjelaskan beberapa mitos yang perlu diketahui masyarakat terkait vaksin. Apa saja?

1. Vaksin menimbulkan kemandulan?

Resmi, Polisi Sebut Bayi yang Meninggal di RS Islam Jakarta Tidak Tertukar

Vaksin COVID-19 yang disuntikkan kepada penerimanya disebut akan menimbulkan risiko infertilitas atau ketidaksuburan. Gangguan tersebut berupa kemandulan bagi wanita. Mengenai hal ini, Dr. Katherine O'Brien mengatakan bahwa vaksin yang diberikan tidak dapat menyebabkan kemandulan.

“Ini adalah rumor yang telah beredar tentang banyak vaksin yang berbeda dan rumor tersebut tidak benar. Tidak ada vaksin yang menyebabkan kemandulan,” kata Kate dalam sesi wawancara Episode 24 tentang Vaccine myths vs science bersama World Health Organization (WHO).

Terkuak, Ada 4 Bayi yang Lahir di RS Islam Cempaka Putih Tertukar

2. Mengubah DNA

Deoxyribonucleic Acid (DNA) yang merupakan materi genetik yang menentukan sifat dan karakteristik fisik seseorang disebut akan berubah setelah vaksin COVID-19 masuk ke dalam tubuh.

Menanggapi hal ini, Kate yang juga ahli epidemiologi dan dokter penyakit menular mengatakan, tidak mungkin vaksin dapat mengubah DNA seseorang.

“Kami sudah sering mendengar rumor ini. Kami memiliki dua vaksin sekarang yang disebut sebagai vaksin mRNA, dan tidak mungkin mRNA dapat berubah menjadi DNA sel manusia kita,” kata Kate.

Lebih lanjut, ia menjelaskan bahwa mRNA, itu instruksi tubuh untuk membuat protein. Kebanyakan vaksin dikembangkan dengan benar-benar memberikan protein atau memberikan komponen kecil dari kuman yang dicoba untuk divaksinasi.

“Dan ini adalah pendekatan baru di mana alih-alih memberikan bagian kecil itu, kami hanya memberikan instruksi kepada tubuh kita sendiri untuk membuat bagian kecil itu dan kemudian sistem kekebalan alami kita meresponsnya,” jelas Kate.

3. Terdapat bahan kimia yang membahayakan

Mitos lain yang cukup membuat gempar hingga membuat sebagian kalangan enggan melakukan vaksinasi adalah kabar mengenai komposisi vaksin yang di dalamnya terdapat bahan kimia yang membahayakan orang yang mendapat vaksin.

Kate menegaskan, hal ini adalah mitos besar. Vaksin yang disuntikkan ke penerimanya sudah dipastikan aman. Semua komponen yang masuk ke dalam vaksin diuji secara berat untuk memastikan bahwa semua yang ada di sana, termasuk dosis aman untuk manusia.

“Vaksin memang mengandung sejumlah elemen yang berbeda dan masing-masing telah diuji. Sebelum diberikan kepada manusia, mereka diuji pada hewan dan diuji untuk masalah apapun pada hewan. Dan baru kemudian mereka masuk ke manusia di mana kami menguji dalam uji klinis dengan puluhan ribu orang akhirnya menerima vaksin sebelum mereka diizinkan untuk digunakan di masyarakat umum,” papar Kate.

Menyoal keamanan, sambung Kate, adalah bagian terpenting dari uji klinis tersebut. Setiap vaksin melewati evaluasi keamanan untuk memastikan bahwa itu aman sebelum digunakan di masyarakat umum.

“Selain itu, pembuatan vaksin memiliki pengawasan kualitas yang konstan sehingga setiap bahan yang masuk ke dalam vaksin dipastikan memiliki kualitas terbaik dan aman untuk digunakan pada manusia,” ucapnya.

Tiga mitos ini cukup membuat heboh di masyarakat saat pemerintah tengah gencar menggalakkan program vaksinasi. Padahal, vaksinasi dilakukan sebagai salah satu upaya dalam rangka mengatasi pandemi akibat virus Corona. Jika setidaknya 70 persen penduduk di suatu populasi sudah divaksin maka bisa tercapai kekebalan kelompok (herd immunity).

Halaman Selanjutnya
Halaman Selanjutnya