5 Perubahan Kuku Tanda Pernah Terjangkit COVID-19

Ilustrasi kuku.
Sumber :
  • Pixabay

VIVA – Para pakar menyebut bahwa Anda bisa mengetahui apakah pernah terjangkit COVID-19 sebelumnya dengan melihat kuku-kuku jari Anda.

Bertemu Prabowo, GAVI Janji akan Perkuat Kerja Vaksin dengan Indonesia

Serangkaian perubahan aneh di kuku jari tangan dan kaki telah terdokumentasikan selama pandemi. Para pakar mengatakan bahwa kuku sama dengan kulit sehingga bisa memberikan petunjuk mengenai kesehatan seseorang.

Masalah kulit diketahui mempengaruhi hingga 20 persen orang yang menderita COVID-19. Tapi, orang-orang sangat jarang memeriksa kuku mereka, seringkali ditutupi dengan kuteks, sehingga banyak yang tidak mengetahui perubahan kecil yang disebabkan oleh virus itu.

Prabowo Sebut Indonesia Bakal Jadi Anggota GAVI, Kucurkan Dana Rp 475 Miliar Lebih

Kuku tumbuh dalam siklus sekitar 6 bulan, karenanya perubahan apapun pada penampilannya yang disebabkan oleh virus corona mungkin muncul terlambat.

Ketidaknormalan pada kuku bisa menjadi akibat dari berbagai masalah, meliputi kekurangan vitamin, kondisi kulit, diabetes atau trauma seperti terbentur pintu saat menutupnya.

PM Singapura Positif Covid-19 Setelah Kunker ke Beberapa Negara

Tapi, para ahli dermatologi mengatakan bahwa itu bukan kebetulan bahwa banyak orang mengalami perubahan kuku setelah positif COVID-19.

"Ada bagian lain di tubuh di mana virus memberikan dampak: kuku jari," tulis para pakar di Conversation dikutip laman The Sun.

"Saat ini, bukti yang tersedia menunjukkan bahwa tidak ada kaitan antara keparahan infeksi COVID-19 dengan jenis atau perubahan tertentu pada kuku," lanjut mereka.

Berikut ini adalah lima perubahan kuku yang perlu Anda perhatikan.

Garis

Beberapa pakar telah memberi tanda bahwa penyintas COVID-19 memiliki garis horizontal di kukunya setelah infeksi. Temuan itu ditekankan oleh Prof Tim Spector, pemimpin peneliti pada studi gejala utama yang dilakukan King's College London dan perusahaan kesehatan ZOE.

Dikenal sebagai garis Mees, tanda ini juga bisa terlihat sebagai akibat dari gagal jantung, penyakit infeksius seperti malaria dan kanker limfoma. Tapi, tanpa ada penyebab jelas lainnya, itu bisa jadi akibat COVID-19.

Bergelombang

Gelombang halus pada kuku, secara medis disebut garis beau, telah dilaporkan pada pasien COVID-19. Hal itu baru-baru ini dijelaskan oleh dokter Kanada pada seorang pria berusia 45 tahun. Dia memiliki gelombang di kuku jari dan kakinya, sekitar 5mm dari alas kuku.

Gelombang pada kuku itu dianggap menggambarkan fakta bahwa pria tersebut positif COVID-19 tiga bulan sebelumnya.

Tanda bulan sabit berwarna merah

Hampir semua orang punya tanda bulan sabit di alas kukunya. Di beberapa orang, tanda ini diikuti dengan warna merah di atasnya setelah terinfeksi COVID-19.

Beberapa kasus sudah terlihat, menurut penelit AS dan Meksiko yang menggambarkan kasusu ini pada wanita berusia 37 tahun. Dia melihat tanda merah muncul di atas tanda bulan sabit hanya dua hari setelah terkena gejala COVID-19. Para peneliti mengatakan, bisa kemungkinan adalah peradangan di sistem vaskular di jantung dari gejala aneh.

Ujung kuku berwarna oranye

Tanda lainnya dari penyakit COVID-19 adalah warna oranye pada ujung kuku. Ini terlihat pada wanita lansia yang terkena virus itu di panti di Italia.

Perubahan warna tidak terjadi hingga 16 minggu setelah dia didiagnosis dan berlangsung setidaknya selama sebulan kemudian.

Para pakar mengatakan mereka melakukan tes yang membuktikan adanya antibodi COVID-19. Mereka juga menjelaskan bahwa bentuk warnanya menunjukkan penyebabnya adalah sistemik, artinya dalam kasus ini disebabkan oleh penyakit.

Kuku naik

Onychomadesis juga diteorikan disebabkan oleh infeksi virus corona. Kuku terlihat seperti terbagi menjadi dua, sering disebut dengan 'pelepasan kuku', diperkirakan muncul karena penundaan sementara pertumbuhan kuku.

Kondisi ini juga terlihat pada infeksi lainnya, yang paling banyak dikenali adalah infeksi kaki dan mulut, penyakit autoimun dan pengobatan.

Satu wanita pernah digambarkan dalam sebuah literatur sebagai orang pertama yang memiliki kondisi ini setelah COVID-19, di mana dia dirawat di rumah sakit selama tiga bulan sebelumnya.

Halaman Selanjutnya
Halaman Selanjutnya