Luka Tak Terasa Perih, Awas Bahaya Lepra Mengintai
- Freepik/freepik
VIVA – Meski pandemi COVID-19 masih menjadi fokus dunia medis saat ini, namun kita tak bisa menutup mata pada masalah kesehatan lain yaitu lepra. Penyakit kronis yang dapat menular dengan mudah ini rupanya memiliki gejala khas yang mudah dikenali.
Lepra tergolong penyakit infeksi kronis yang disebabkan bakteri Mycobacterium leprae (M. leprae) yang menyerang kulit, saraf tepi, mukosa saluran pernapasan atas dan mata.
Penyakit ini dapat ditularkan melalui kontak langsung antar kulit dalam jangka waktu yang lama. Lantaran menyerang saraf, rupanya penyandang lepra kerap hilang rasa sakit di sekitar luka yang ia alami.
"Hilang rasa pada daerah lesi. Kalau ada lesi rasanya gatal dan perih, itu wajar. Pada lepra, itu nggak berasa. Jadi pasien merasa tenang aja karena nggak berasa apa-apa, dia nggak ke dokter. Itu yang bahaya," ujar dokter spesialis mata, Dr. dr. Yunia Irawati, Sp.M(K), dalam acara virtual bersama JEC Eyes Talk, baru-baru ini.
Lepra secara endemis ditemukan di negara berkembang, terutama yang berada di wilayah tropis dan sub tropis, salah satunya Indonesia. Pada 2019, jumlahnya mencapai 17.439 kasus, naik 2,48% dibandingkan tahun sebelumnya.
"Penderita lepra jangan dianggap enggak ada di sekeliling kita. Kalau mereka tidak berobat dengan baik, akan lebih lama dikenali, pengobatan lbh lama, hingga kerusakan akan timbul di kemudian hari," ujarnya.
Sebagai penyakit infeksi sistemik, lepra bisa membuat penderitanya mengalami komplikasi okular lagoftalmus paralisis atau ketidakmampuan mata untuk menutup rapat. Jika tidak segera ditangani, risiko kebutaan pun mengancam.
Ada pun lagoftalmus paralisis merupakan ketidakmampuan kelopak mata untuk menutup secara sempurna. Lagoftalmus paralisis yang tidak segera ditangani menyebabkan kerusakan sel goblet pada bagian konjungtiva (lapisan tipis pelindung area putih mata/sklera). Apabila permukaan konjungtiva terus menerus terekspos/terbuka, terjadilah ketidakstabilan lapisan air mata yang memicu mata kering/dry eyes.
Kondisi ini memunculkan risiko infeksi yang secara berkelanjutan bisa berdampak kebutaan. Meski prevalensinya sangat bervariasi, tetapi lagoftalmus paralisis berpotensi terjadi pada penderita dengan beberapa faktor risiko seperti berusia lebih dari 15 tahun saat terdiagnosis lepra, menderita lepra lebih dari setahun, dan mengalami kelelahan fisik.
"Sehingga pasien diharapkan secara rutin kontrol 6 bulan sekali. Karena kita tak mau pasien jatuh ke disabilitas (kebutaan). Kalau lebih awal diobati, angka disabilitas bisa jauh ditekan," pesannya.