Ahli: Kombinasi COVID-19 Delta dan Beta Bisa 30 Kali Lebih Mematikan

Ilustrasi virus corona.
Sumber :
  • Freepik/pikisuperstar

VIVA – COVID-19 masih berevolusi dan ahli mengatakan, jika dua varian yang mengkhawatirkan, yakni Delta dan Beta bergabung, maka itu akan lebih mematikan.

Dilansir dari laman The Sun, Minggu, 8 Agustus, perkiraan tingkat kematian akibat COVID-19 sekitar 1-3 persen. Ini berarti kurang dari lima dari setiap 100 orang yang tertular virus corona meninggal tanpa adanya vaksin.

Tetapi ada ‘kemungkinan realistis; di mana kematian akibat COVID-19 akan meningkat, bahkan mungkin ke tingkat yang sama seperti SARS dan MERS, menurut para ahli.

SARS dan MERS adalah dua virus corona lain yang pertama kali muncul pada tahun 2000 dan 2012. Sekitar 10 persen yang tertular SARS dan 30 persen orang yang tertular MERS meninggal dunia.

Disebutkan bahwa COVID-19 perlu melalui lebih banyak adaptasi pada populasi manusia untuk menjadi sama mematikannya dengan SARS atau MERS. Hal ini mungkin saja terjadi jika dua varian mutasi yang jadi perhatian, seperti Delta, Beta atau Alpha bergabung menjadi satu varian baru yang lebih mematikan.

Peristiwa ini disebut ‘rekombinasi’ dan terjadi secara alami. Sudah terlihat dengan COVID sebelumnya dan juga flu.

Kemungkinan COVID-19 menjadi lebih mematikan digambarkan sebagai sesuatu hal yang realitis oleh para ahli, karena virus corona masih menyebar pada tingkat yang begitu tinggi.

“Saya setuju dengan kesimpulan tentang itu. Perlu dicatat bahwa sesuatu dapat menimbulkan korban yang lebih besar pada kesehatan manusia hanya dengan menjadi lebih menular. Meskipun dua virus jarang bergabung, itu bisa terjadi dan sangat mungkin terjadi. Disebut 'peristiwa rekombinasi'. Ini didokumentasikan dengan baik pada virus flu, misalnya," kata Profesor mikrobiologi seluler di University of Reading, Dr Simon Clarke.

Meski begitu, menurut Clarke, rekombinasi varian COVID-19 belum tentu pasti terjadi. Namun, tidak ada alasan bahwa jika itu terjadi, rekombinasi tersebut tidak dapat menghasilkan varian yang lebih mematikan.

"Tapi bukan berarti pasti terjadi. Itu hanya sesuatu yang bisa terjadi. Namun, sebagian besar perubahan akan menjadi pergeseran yang jauh lebih halus dalam kode genetik," jelas dia.

KPK Tahan Tiga Tersangka Kasus Korupsi Pengadaan APD di Kemenkes, Satu Orang Tidak Hadir

Jika peristiwa rekombinasi tadi terjadi, hal tersebut bisa berdampak besar pada tingkat kematian alami COVID-19, tanpa dampak vaksin yang telah sangat menurunkan angka kematian.

Disebutkan pula bahwa vaksin tidak akan memberikan kekebalan sterilisasi mutlak. Ini karena kekebalan vaksin juga akan berkurang seiring waktu dan mungkin menjadi kurang efektif, akibat virus berubah dari waktu ke waktu dan menjadi tidak dapat dikenali oleh sistem kekebalan tubuh.

Bertarung Pulihkan Pandemi, Jalan Terjal Pemerintah Indonesia Bangkit dari Belenggu COVID-19

Ya, virus corona akan terus bermutasi, sedikit demi sedikit. Hal tersebut tak bisa kita hindari dan oleh karena itu, ahli memprediksi orang akan terinfeksi virus ini berkali-kali sepanjang hidup mereka.

Ini terkait dengan keyakinan bahwa suatu hari COVID-19 akan menjadi endemik, artinya diperlakukan sama seperti flu biasa atau flu.

Cara Mengelola Keuangan Setelah Kuliah: 7 Langkah Jitu Menuju Stabilitas Finansial!

Namun, ini disebut tak akan terjadi dalam waktu dekat dan vaksinasi berulang masih menjadi cara terpenting untuk melindungi diri dari COVID-19.

Tak tertutup pula kemungkinan bahwa virus corona nantinya bisa menjadi tak seganas sebelumnya.

Presiden Prabowo Subianto bertemu dengan Ketua Dewan Global Alliance for Vaccines and Immunization (GAVI) José Manuel Barroso.

Bertemu Prabowo, GAVI Janji akan Perkuat Kerja Vaksin dengan Indonesia

Ketua Dewan Aliansi Global untuk Vaksin dan Imunisasi (GAVI), Jose Manuel Barroso berkomitmen untuk melanjutkan kerja sama dengan Indonesia dalam upaya memperkuat imunisa

img_title
VIVA.co.id
7 Desember 2024