Lonjakan Kematian, Satgas IDI Ingatkan COVID-19 Meluas ke Pedesaan
- Times of India
VIVA – Kasus kematian COVID-19 masih berada di kisaran lebih dari seribu per hari, yang tentunya sangat mengkhawatirkan. Sontak, total kematian akibat virus SARS-CoV-2 di Tanah Air kini sudah mencapai hingga 102 ribu jiwa.
Dipaparkan Ketua Satgas COVID-19 Ikatan Dokter Indonesia (IDI), Prof Zubairi Djoerban, angka kematian itu selaras dengan tantangan baru yang terjadi belakangan ini, yakni menyiapkan fasilitas kesehatan memadai dengan cepat di daerah terpencil.
"Pasalnya COVID-19 mulai merayap ke pedesaan dan pelosok, dengan catatan vaksinasi juga masih sangat minim. Jangan sampai terjadi mimpi buruk berikutnya," ujar Prof Zubairi dalam cuitan akun twitternya.
Yang lebih mengkhawatirkan, kata Prof Zubairi, dari 100 ribu lebih kematian itu terdapat 598 dokter yang harus menghembuskan napas terakhir akibat COVID-19. Bahkan, Prof Zubairi memprediksi angka tersebut sebenarnya bisa jauh lebih banyak. Lantas selain COVID-19 yang kian meluas ke daerah terpencil, apa faktor lain yang memicu lonjakan kematian?
"Kondisi kita dua bulan terakhir sebenarnya bisa menjawab pertanyaan itu. Ada antrean panjang pasien COVID-19 untuk mendapatkan tempat tidur di rumah sakit. Kurangnya pasokan oksigen, isoman yang kurang tertangani, ya alhasil 30 ribu-an orang meninggal hanya pada Juli saja," kata Prof Zubairi.
Faktanya, lanjut Prof Zubairi, rumah sakit memang mengalami kekurangan oksigen dan terisi jauh melebihi kapasitas jumlah pasiennya. Sehingga makin sulit untuk merawat dengan intens, bahkan ada yang terpaksa menolak pasien karena penuh. Pada sisi lain, tenaga medis dan kesehatan juga kewalahan.
"Laporan dari lapangan, puskesmas dan pasien itu memang kesulitan menghubungi hotline rumah sakit," tuturnya.
Mereka coba menghubungi, kata Prof Zubairi, namun tidak ada yang angkat. Akibatnya, ambulans dari puskesmas tidak bisa jalan ke rumah sakit. Pasien pun tidak tertangani dan akhirnya meninggal.
"Jadi, saya mohon banget, hotline di rumah sakit itu dibuka dan direspons. Karena ambulans dari puskesmas baru bisa berangkat kalau rumah sakit yang dituju memberi jaminan. Namanya hotline ya harus merespons, apapun kondisinya. Paling tidak memberi informasi faktual saat itu," ujarnya.
Lebih dalam, ada juga yang patut jadi sorotan yaitu keberadaan laboratorium yang menjadi tempat tes antigen dan PCR dengan jumlah yang banyak. Seharusnya, tim laboratorium punya kewajiban untuk memberikan konsultasi dan merujuk pasien ke puskesmas atau rumah sakit.
"Bukan cuma setelah hasil tes diberikan, disudahi begitu saja. Modelnya bisa mirip-mirip dengan tes HIV dulu. Yakni bersamaan hasil tes keluar dari lab, ya sudah sepaket dengan konsultasi dan memberi jalan kepada pasien untuk melakukan apa. Ini harus jadi konsern," tuturnya.
Belum lagi soal isoman yang menjadi isu cukup hangat. Sebab, banyak sekali orang yang melakukan isoman tapi tidak punya pengetahuan cukup dan sebenarnya memerlukan konsultasi dengan dokter.
"Alhamdulillahnya, di beberapa daerah, mereka sudah melakukan telemedicine untuk pasien isoman. Saya kira ini bagus sekali dan saya salut kepada teman-teman dokter yang sudah melaksanakannya. Semoga, daerah yang sudah melakukan telemedicine dan berhasil, bisa menjadi prototipe daerah lain untuk melakukannya juga," katanya.