Pasien Hepatitis Takut ke RS, Dokter: Khawatir Terpapar COVID-19
- Freepik/freepik
VIVA – Pandemi COVID-19 berdampak pada berbagai sektor, termasuk pada penanganan penyakit kronis, salah satunya hepatitis. Tak sedikit pasien hepatitis yang memilih menunda pengobatan lantaran khawatir tertular COVID-19 dan mengabaikan kondisinya.
Padahal, kasus hepatitis tak bisa disepelekan. Berdasarkan data dari Kementerian Kesehatan (Kemenkes) RI, terdapat 2,5 juta penduduk Indonesia yang terinfeksi hepatitis C. Sementara, hepatitis B diidap oleh 18 juta penduduk dan 50 persennya berisiko menjadi kronis.
Ada pun, hepatitis terbagi dalam 5 jenis yakni hepatitis A, B, C, D dan E. Dari data keseluruhan, 900 ribu pasien hepatitis tersebut dapat berdampak pada sirosis (kematian jaringan) hingga kanker hati.
Bagaimana penularannya?
Dipaparkan Direktur Pencegahan dan Pengendalian Penyakit Menular Langsung (P2ML) Kementerian Kesehatan, dr Siti Nadia Tarmizi, penularan tiap jenis virus hepatitis berbeda. Untuk jenis hepatitis A dan E, menular melalui oral dan fekal. Tiga jenis lainnya, menular melalui sentuhan, cairan tubuh, dan jarum suntik. Termasuk saat janin yang berisiko besar tertular dari cairan tubuh ibu yang positif hepatitis.
“Penularan hepatitis B dari ibu ke anak sebesar 90-95 persen. Sehingga diperlukan pencegahan penularan hepatitis B dari ibu ke anak sejak dini. Salah satunya prioritas deteksi dini hepatitis B pada ibu hamil,” kata Nadia, dalam temu media secara virtual Peringatan Hari Hepatitis Sedunia 2021, Rabu 28 Juli 2021.
Penanganan
Hepatitis B bisa dicegah penularannya dengan beberapa cara. Salah satunya dengan pemberian hepatitis B Imunoglobulin (HBIg) yang diberikan pada bayi baru lahir dari ibu yang terdiagnosis hepatitis. Serta, memberikan HB0 untuk menurunkan risiko penularan dari ibu ke bayi dengan syarat diberikan kurang dari 24 jam setelah bayi lahir. Juga, pemberian imunisasi hepatitis B pada anak sesuai usianya.
Untuk penanganan pada ibu, pemberian obat berupa Tenofir bisa dikonsumsi ibu hamil dengan jumlah virus hepatitis yang tinggi. Disarankan juga melakukan pemeriksaan pada ibu hamil secara rutin dan melakukan deteksi dini hepatitis B pada janin.
Berdasarkan hal tersebut, Kemenkes telah meluncurkan dashboard program hepatitis C. Dijelaskan Nadia, dashboard tersebut berisi informasi terkait akses pengobatan.
"Dashboard ini juga akan membantu para pemegang program hepatitis di tiap daerah untuk mengetahui data capaian program Hepatitis C di wilayahnya secara cepat dan sebagai dasar untuk melakukan pemantauan, evaluasi, serta perencanaan program berbasis data yang akurat," kata Nadia.
Dampak Pandemi Pada Pengobatan Hepatitis
Sayangnya, pengobatan hepatitis B terhambat dengan adanya pandemi COVID-19. Sebab, fasilitas kesehatan dan pemerintah juga fokus untuk menuntaskan pandemi sehingga pengobatan hepatitis terabaikan.
"Soal kontrol ke rumah sakit, di Amerika misalnya, dilaporkan banyak orang (pasien hepatitis) jadi takut ke rumah sakit. Takut masuk ke wilayah udara rumah sakit yang penuh dengan COVID-19," ujar Ketua Perhimpunan Peneliti Hati Indonesia (PPHI), Irsan Hasan, dalam kesempatan yang sama.
Padahal, hepatitis termasuk dalam golongan penyakit berbahaya di peringkat enam bagi pasien COVID-19. Hepatitis yang tak terkontrol membuat penurunan imun lebih mudah terjadi sehingga lebih rentan terpapar COVID-19, bahkan 10 kali lipat berisiko dirawat di ICU.
"Dan enam kali lipat lebih sering mengalami kematian," tambahnya.
Dijelaskan Irsan, pasien Hepatitis B minimal dalam jangka enam bulan sekali dianjurkan rutin USG dan menjalani pemeriksaan deteksi kanker hati. Ini merupakan bentuk skrining agar penangana dini bisa segera dilakukan. Untuk itu, Irsan menyarankan agar pasien hepatitis tetap rutin kontrol ke dokter meski pandemi masih berlangsung.
"Kita harap ada PPKM darurat atau PPKM level berapa pun yang perlu berobat tetap berobat," ujar Irsan.