Penimbunan Ivermectin Diduga Bermotif Kejahatan Perusahaan
- ANTARA
VIVA – Adanya pengungkapan penjualan obat-obatan COVID-19 jenis Ivermectin di atas HET (Harga Eceran Tertinggi) oleh tiga apotek dinilai mengungkap adanya kejahatan perusahaan yang melakukan praktik penimbunan. Sebab, proses uji klinis masih berjalan, namun sudah dijual dengan harga tinggi.
"Saya melihat pengerebekan obat oleh Polresta Bogor Kota di 3 apotik yang menjual obat diatas HET, perlu diapresiasi masyarakat. Sehingga perlu didukung agar polisi mampu mengusut kasus ini,” ungkap pemerhati kesehatan LBH Kesehatan, Iskandar Sitorus, Senin 19 Juli 2021.
“Sebab ini pasti ada keterlibatan pabrik dan distributor. Dari mana apotek ini dapat suplai obat ini. Kepolisian bisa cek uji lab apakah dalam kasus obat yang dijual dengan harga tinggi ini sudah melewati uji klinis. Kan belum," tambahnya.
Menurutnya, dalam keadaan darurat wabah atau pandemi COVID-19, Presiden sudah memutuskan bahwa penanganan obat-obatan adalah kondisi darurat sehingga digunakan undang-undang bencana dan undang-undang Karantina serta undang-undang Wabah Penyakit Menular.
Oleh karena itu, adanya penemuan stok atau penimbunan obat Ivermectin buatan PT.Indofarma oleh Polresta Bogor diduga mengarah adanya aksi bermotif kejahatan perusahaan.
"Jadi kondisi real-nya, kejahatan ini diduga sampai kepada corporate crime. Perusahaan yang terlibat disitu dari mulai badan hukum apotek, ke atasnya yakni badan hukum perusahaan besar farmasi yang menjadi distributornya, ke atasnya sampai kepada pabrikan. Itu gambaran kalau dilihat secara detail dan mendalam kasus yang ditangani Polresta ini," kata Iskandar.
Iskandar menjelaskan, kejanggalan itu diketahuinya sebab pabrik baru mendapatkan izin edar atas Ivermectin bulan Juni. Pabrik baru ditugaskan oleh pemerintah untuk melakukan uji klinis.
Uji klinis ini dilakukan di delapan rumah sakit. Sebagai perusahaan besar farmasi, pabrik mendistribusikan melalui siapa saja sampai ke apotek itu.
"Nah kalau baru keluar izin edar lalu mereka bisa memproduksi sebesar itu padahal mereka mempunyai kewajiban terlebih dahulu untuk uji klinis tetapi sudah sedemikian besar stok ada dipasar dan diperdagangkan bahkan harganya melambung melewati harga eceran tertinggi (HET) maka diduga sudah bisa berlapis-lapis pidananya. Bisa dijerat dengan undang-undang kesehatan, bisa dijerat dengan ketentuan-ketentuan lain terkait kedaruratan," jelas Iskandar.
Kenapa demikian, kata Iskandar menambahkan, sebab produk itu sesungguhnya tidak bisa terkumpul atau tertimbun sedemikian banyak karena baru dapat izin edar.
Dan saat ini pemerintah meminta obat tersebut untuk diuji klinis karena akan digunakan untuk orang yang terpapar COVID-19. Ketika kemarin stok tersebut diperjual belikan untuk COVID-19 maka timbul persoalan kecurigaan adanya praktik penimbunan.
"Jadi obat ini sedang uji klinis tapi sudah ada di pasar malah diperjualbelikan dengan cara ditimbun dengan melanggar HET. Patut diduga stock yang ditemulan Polresta Kota Bogot itu begitu besar bisa sedemikian banyak di wilayah Bogor, Jawa Barat, ini menjadi pertanyaan tersendiri. Bagaimana yang terjadi di wilayah lain," jelas Iskandar.
Seperti diberitakan VIVA sebelumnya, Satgas COVID-19 Kepolisian Resor Bogor Kota mengerebek 3 apotek yang menjual obat COVID-19 dengan harga tinggi diatas Harga Eceran Tertinggi (HET) yang ditetapkan Pemerintah. Para pengelola apotek ditetapkan tersangka dan terancam satu tahun penjara.
Kapolresta Bogor Kota Kombes Pol Susatyo Purnomo Condro mengungkapkan, kasus ini berawal dari informasi masyarakat bahwa sulitnya mendapatkan obat-obatan. Salah satunya, Ivermectin yang memiliki HET Rp150 ribu, namun dijual dua kali lipat yakni Rp300 ribu.