5 Fakta Ivermectin, Obat Cacingan Kini Jadi Terapi COVID-19
- Freepik/freepik
VIVA – Obat ivermectin telah mendapat persetujuan Badan Pengawas Obat dan Makanan (BPOM) RI sebagai terapi pada pasien COVID-19. Dituturkan Menteri BUMN Erick Thohir, ivermectin yang awalnya sebagai obat antiparasit kini bisa mulai dipakai pasien COVID-19.
"Ivermectin ini akan menjadi obat antiparasit yang bisa dijadikan sebagai obat terapi COVID-19," papar Erick Thohir dalam konferensi persnya, Senin 21 Juni 2021.
Kontroversi terkait obat ivermectin ini sempat menjadi buah bibir. Bagaimana tidak, obat ini pada awalnya ditujukan sebagai terapi cacingan. Namun rupanya, jurnal kesehatan menunjukkan keefektifannya untuk terapi pasien COVID-19.
Lantas, apa saja fakta-fakta obat ivermectin? Berikut rangkumannya dari berbagai sumber.
Bebas digunakan
Meski sebelumnya obat ivermectin sempat menuai kontroversi, Erick Thohir mengklaim obat antiparasit ini bisa menjadi solusi dalam kondisi pandemi COVID-19. Dengan adanya persetujuan dari BPOM serta pihak Kementerian Kesehatan, maka obat ini bebas digunakan sebagai terapi COVID-19.
"Hari ini juga kami ingin menyampaikan obat Ivermectin obat antiparasit sudah keluar hari ini sudah mendapatkan izin BPOM, kami terus melakukan komunikasi insentif kepada Kementerian Kesehatan bagaimana sesuai dengan rekomendasi BPOM dan juga kementerian kesehatan. Obat Ivermectin ini harus dapat izin dokter dalam kegunaannya dalam keseharian," kata Erick Thohir.
Uji stabilitas
Bukan tanpa alasan, obat antiparasit ini sudah dikaji dalam beberapa jurnal ilmiah dan terbukti mampu memperbaiki kondisi pasien COVID-19. Dengan begitu, angka kesakitan pasien COVID-19 pun bisa dicegah, bahkan mungkin menurunkan penularan.
"Saya dapatkan kabar saya rasa cukup gembira, bahwa dalam terapi daripada penyembuhan, mengantisipasi untuk menjaga diri kita sehingga penularan bisa diturunkan, Ivermectin ini dianggap dalam terapi-terapi cukup baik. Karena berdasarkan jurnal-jurnal kesehatan mereka sudah mendapatkan hasilnya dan tentu ini kita sudah lakukan uji stabilitas kemarin," jelasnya.
Diproduksi 4 juta tablet per bulan
Erick Thohor menyebut bahwa obat tersebut sudah mulai diproduksi dengan kapasitas sebanyak 4 juta per bulannya. Obat tersebut diproduksi oleh Indofarma untuk penerapan secara menyeluruh.
"Obat Ivermectin yang diproduksi Indofarma ini, pada saat ini kita sudah mulai produksi Insyaallah dengan kapasitas 4 juta sebulan ini bisa menjadi solusi juga untuk bagaimana penerapan daripada COVID-19 ini kita bisa tekan secara menyeluruh," tegasnya.
Harga terjangkau
Ada pun harga yang dibanderol oleh obat ini, sangat terjangkau, yakni sekitar Rp5000 hingga Rp7000 per tablet. kendati demikian, ini bukan berarti Ivermectin sebagai obat namun hanya terapi yang membantu meminimalisir gejala COVID-19.
Obat keras
Meski begitu, BPOM tak lantas menyetujui anggapan Ivermectin yang bisa menjadi pengobatan COVID-19. BPOM menyebut bahwa upaya pemberantasan COVID-19 memang bisa dilakukan dengan obat yang sudah ada yang mungkin berpotensi mengobatinya, seperti Ivermectin, namun itu butuh kajian lebih lanjut.
"Penelitian untuk pencegahan maupun pengobatan COVID-19 yang sudah dipublikasikan menyatakan bahwa Ivermectin memiliki potensi antiviral pada uji secara in-vitro di laboratorium. Akan tetapi, masih diperlukan bukti ilmiah yang lebih meyakinkan terkait keamanan, khasiat, dan efektivitasnya sebagai obat COVID-19 melalui uji klinik lebih lanjut," tulis laporan di BPOM.
BPOM menjelaskan, Ivermectin kaplet 12 mg terdaftar di Indonesia untuk indikasi infeksi kecacingan (Strongyloidiasis dan Onchocerciasis). Ivermectin diberikan dalam dosis tunggal 150-200 mcg/kg Berat Badan dengan pemakaian 1 (satu) tahun sekali.
"Ivermectin merupakan obat keras yang pembeliannya harus dengan resep dokter dan penggunaannya di bawah pengawasan dokter," terang laporan itu lagi.
Pemakaian tanpa indikasi dan konsultasi ke dokter, bisa berdampak pada efek jangka panjang. Sebagai tindak lanjut untuk memastikan khasiat dan keamanan penggunaan Ivermectin dalam pengobatan COVID-19, di Indonesia akan dilakukan uji klinik di bawah koordinasi Badan Penelitian dan Pengembangan Kesehatan, Kementerian Kesehatan RI, dengan melibatkan beberapa Rumah Sakit.
"Ivermectin yang digunakan tanpa indikasi medis dan tanpa resep dokter dalam jangka waktu panjang dapat mengakibatkan efek samping, antara lain nyeri otot/sendi, ruam kulit, demam, pusing, sembelit, diare, mengantuk, dan Sindrom Stevens-Johnson," tambah laporan tersebut.