Yuk, Cermat Perhatikan Kualitas Air Minum Layak Konsumsi

Ilustrasi minum air/air putih.
Sumber :
  • Pexels/Lisa Fotios

VIVA – Persatuan Wartawan Indonesia (PWI) bersama Alodokter menyelenggarakan kegiatan Kelas Jurnalis dengan tema “Peran Media Dalam Mengedukasi Masyarakat Mengenai Perilaku Hidup Bersih Melalui Pemahaman Air Minum Terstandarisasi”.

Kegiatan ini merupakan salah satu upaya edukasi kepada masyarakat luas mengenai isu kesehatan terkait pentingnya perilaku mengonsumsi air minum yang layak, berkualitas dan terstandarisasi.

Ketua Umum PWI Pusat, Atal S. Depari mengatakan, kita tahu seberapa pentingnya air untuk tubuh. Organ-organ penting di dalam tubuh tidak dapat berfungsi dengan baik tanpa air yang cukup dan berkualitas.

“Namun, kami melihat bahwa masih minim sekali pemahaman masyarakat akan pentingnya air minum berkualitas. Maka dari itu, PWI bersama dengan Alodokter membuat acara kelas jurnalis ini yang bertujuan untuk mengedukasi masyarakat luas lewat rekan-rekan jurnalis sehingga dapat lebih cermat dalam memilih air untuk dikonsumsi,” kata Atal S. Depari, Ketua Umum PWI Pusat, baru-baru ini.

Kualitas indeks air di Indonesia dikatakan masih sangat buruk, yang mana data dari Badan Pusat Statistik (BPS) mengungkapkan bahwa pada tahun 2018, 10 dari 24 provinsi di Indonesia masih memiliki sumber air yang terkontaminasi bakteri yang cukup tinggi.

Menurut BPS, pada tahun 2019 pun masih cukup banyak masyarakat yang memanfaatkan sumber air tidak terlindungi, seperti air dari sumur atau sumber yang ilegal untuk memenuhi kebutuhan air minumnya.

Firdaus Ali, Pendiri dan Pimpinan Indonesia Water Institute (IWI) sekaligus Staf Ahli Kementerian PUPR Bidang ESDM mengatakan bahwa Indonesia saat ini tengah mengalami permasalahan air minum bersih karena adanya kelangkaan air baku untuk air bersih perpipaan yang langsung dialirkan ke rumah.

"Selain itu, adanya pencemaran sumber air baku karena lokasinya yang dekat dengan pencemar, ekstraksi dalam tanah yang berlebihan dan tingginya produksi ilegal air minum di tengah masyarakat. Sehingga, tidak mengherankan jika sulit sekali menemukan air minum yang berkualitas dan tidak terkontaminasi bakteri," ujar dia.

Untuk mengetahui air minum yang berkualitas, penting sekali memperhatikan jarak antara sumber air dan pencemar, seperti jamban atau septic tank, kandang ternak, saluran pembuangan air, dan tempat pembuangan sampah.

Jika terlalu dekat, yakni kurang dari 10 meter, sumber air bisa tercemar oleh limbah rumah tangga, limbah industri dan logam berat. Air dari sumber tersebut juga dapat terkontaminasi bakteri berbahaya, seperti Pseudomonas, Klebsiella, Enterobacter, Salmonella, dan E. coli.

Infeksi bakteri E. coli pada saluran pencernaan dapat menimbulkan beragam gejala, salah satunya yang paling umum adalah diare. Di Indonesia, kasus penyakit diare terbilang sangat tinggi, yakni lebih dari 7 juta total kasus pada tahun 2019.

Pada bayi dan balita, penyakit diare bahkan merupakan salah satu penyebab kematian tertinggi dengan jumlah kasus lebih dari 1.000 kematian. Menurut Spesialis Penyakit Dalam dan Konsultan Gastroenterologi-hepatologi dr. Kaka Renaldi, Sp.PD, KGEH, infeksi bakteri E. coli pada saluran pencernaan juga bisa menyebabkan kondisi yang disebut sindrom hemolitik uremik.

"Kondisi yang rentan terjadi pada anak-anak dan lansia ini menyerang sel darah merah dan sel keping darah (platelet) serta dapat menyebabkan gagal ginjal," tutur dia.

Selain itu, dr. Kaka juga menambahkan bahwa ibu hamil yang terinfeksi bakteri E. coli melalui saluran kencing (uretra) juga bisa mengalami infeksi saluran kemih dan infeksi ginjal. Infeksi ini kemudian bisa berkembang dan menyebabkan infeksi selaput otak pada bayi dalam kandungannya, hingga keguguran.

Sehingga, pemilihan air dengan seksama disarankan kepada seluruh masyarakat untuk mengadopsi hidup bersih dengan mengonsumsi air minum yang berasal dari sumber yang terlindungi.

Pramono Anung: Baru 44 Persen Wilayah Jakarta Dapat Akses Air Bersih

Kualitas air minum juga ternyata sangat berpengaruh terhadap kualitas hidup seseorang di masa depan. Menurut Peneliti Depot Air Minum Isi Ulang, Sri Yusniati I. Sari, saat ini, sekitar 48 persen dari masyarakat menengah ke bawah di perkotaan menggunakan air kemasan dan isi ulang sebagai cara praktis untuk memenuhi kebutuhan air minum dalam rumah tangganya.

Namun, tidak banyak yang memahami perbedaan kualitas air minum yang ada di pasaran. Selain itu, beliau menambahkan bahwa akibat laju urbanisasi yang cepat, fenomena air minum isi ulang kian menjamur di perkotaan.

Ridwan Kamil Akan Bayari Selisih Harga Jerigen Air Bersih Warga Jakarta yang Belum Terakses PAM

Pertumbuhan Depot Air Minum (DAM) di DKI Jakarta meningkat hingga 800%, dan didapatkan bahwa banyak air minum isi ulang memiliki kualitas yang rendah, yang mana  sekitar 40% galon isi ulang dan 25,3 persen keran outlet terdapat bakteri E. coli.

Masyarakat juga harus lebih berhati-hati karena masih banyak sekali DAM yang tidak resmi dan tidak mematuhi  standardisasi pemerintah. air minum yang jernih dan tidak berasa belum tentu bebas dari bakteri.

Mengintip Proses Pembuatan Air Minum, dari Mata Air Sampai ke Tangan Masyarakat

Kepedulian terhadap distribusi air minum yang bersih dan berkualitas pun terus digalakkan oleh berbagai pihak terkait, salah satunya adalah Indonesia Urban Water, Sanitation and Hygiene (IUWASH) selaku lembaga non-profit yang mendedikasikan visi dan misinya untuk meningkatkan layanan, penguatan kinerja, dan advokasi di sektor air bersih kepada seluruh masyarakat Indonesia.

Ada beberapa tantangan untuk menyediakan air layak minum di perkotaan dan salah satunya adalah distribusi air minum bersih yang belum merata, khususnya bagi mereka yang berpenghasilan rendah.

"Kelompok ini juga dipersulit dengan biaya “Sambung Baru” PDAM yang cukup tinggi. Oleh karena itu, diperlukan opsi layanan akses air layak minum dan terjangkau, seperti sambungan air minum di wilayah perkotaan dengan Master Meter dan SPAM Komunal,” ungkap Alifah Sri Lestari, Deputy Chief of Party USAID IUWASH PLUS.

Namun, melihat infrastruktur dan kondisi pandemi yang belum kunjung pulih, masyarakat diharuskan untuk cepat mengoptimalkan perilaku hidup bersih, baik dalam menjaga kebersihan lingkungan dan tubuh.

"Selama pandemi COVID-19, masyarakat semakin membutuhkan air bersih untuk dikonsumsi, yang mana telah terjadi peningkatan konsumsi AMDK sebagai alternatif sumber air minum. Tahun lalu, sekitar 88 persenresponden kami menggunakan kemasan galon dan sisanya menggunakan beragam jenis kemasan, seperti botol dan gelas," ujar Firdaus Ali.

“Meski sudah adanya peningkatan untuk menjalani hidup bersih, masyarakat dianjurkan untuk terus melakukan pengecekan keamanan dan kualitas air kemasan, dengan memperhatikan produsen air minum yang telah memiliki sertifikasi BPOM, melihat tempat penyimpanan airnya, pengelolaannya dan lokasi pendistribusiannya,” ungkap dia.

Halaman Selanjutnya
Halaman Selanjutnya