Marak Beredar, 4 Cara Kenali Masker Medis Palsu

Ilustrasi virus corona/COVID-19/masker.
Sumber :
  • Freepik/freepik

VIVA – Dalam masa pandemi COVID-19, salah satu upaya untuk mencegah penularan adalah menggunakan masker. Namun, telah beredar di masyarakat terkait isu masker palsu yang dikhawatirkan membuat seseorang rentan tertular virus SARS-CoV-2.

Abu Vulkanik Gunung Lewotobi Sampai Lombok, Warga Diminta Gunakan Masker

Plt Dirjen Farmalkes, drg. Arianti Anaya, MKM, mengimbau kepada masyarakat untuk berhati-hati dalam memakai masker. Pasalnya, saat ini telah beredar masker palsu yang dapat meningkatkan kerentanan penularan virus SARS-CoV-2. Lantas, bagaimana cara paling utama mengenali masker medis asli? Berikut rangkumannya.

Izin edar Kementerian Kesehatan RI

Hebat! Pria Ini Bantu Ratusan UMKM di Tabalong Bebas dari Rentenir, Begini Caranya

Pada awal masa pandemi terjadi kelangkaan ketersediaan masker medis sehingga Kementerian Kesehatan berkoordinasi dengan kementerian lain melakukan berbagai upaya agar ketersediaan masker dapat dipenuhi. Saat ini, setelah lewat 1 tahun pandemi COVID-19, sudah ada 996 industri masker medis yang sudah memiliki nomor izin edar dari Kementerian Kesehatan.

"Kalau dia sudah mendapatkan izin edar dari Kemenkes artinya masker ini dikategorikan sebagai masker bedah atau masker N95 atau KN95 yang dikategorikan sebagai alat kesehatan,” kata drg. Arianti dalam keterangan persnya.

Jumlah Pengangguran di Indonesia Turun Jadi 7,47 Juta Orang Per Agustus 2024

Masker N95 dan KN95 untuk kebutuhan medis dan nonmedis secara fisik sulit dibedakan. Itu baru bisa dilihat setelah dilakukan pengujian.

Oleh karena itu, untuk menghindari kesalahan pemilihan masker medis maka tenaga kesehatan dan masyarakat agar membeli masker medis yang sudah memiliki izin edar alat kesehatan dari Kemenkes. Izin edar biasanya tercantum pada kemasan atau dapat juga diakses di infoalkes.kemkes.go.id.

Menyaring hingga 95 persen

Ketika produk masker sudah mendapatkan izin edar dari Kementerian Kesehatan maka masker tersebut telah memenuhi persyaratan mutu keamanan dan manfaat, antara lain telah lulus uji Bacterial Filtration Efficiency (BFE), Partie Filtration Efficiency (PFE), dan Breathing Resistence sebagai syarat untuk mencegah masuknya dan mencegah penularan virus serta bakteri.

“Masker medis harus mempunyai efisiensi penyaringan bakteri minimal 95 persen,” tutur drg. Arianti.

Jenis masker medis

Drg. Arianti menjelaskan, jenis masker medis adalah masker bedah dan masker respirator. Masker bedah berbahan material berupa Non – Woven Spunbond, Meltblown, Spunbond (SMS) dan Spunbond, Meltblown, Meltblown, Spunbond (SMMS).

Masker tersebut digunakan sekali pakai dengan tiga lapisan. Penggunaannya menutupi mulut dan hidung.

Lain halnya dengan masker respirator atau biasa disebut N95 atau KN95. Biasanya masker respirator ini menggunakan lapisan lebih tebal berupa polypropylene, lapisan tengah berupa elektrete/charge polypropylene.

Masker jenis ini memiliki kemampuan filtrasi yang lebih baik dibandingkan dengan masker bedah. Biasanya masker respirator ini digunakan oleh pasien yang kontak langsung dengan pasien COVID-19 dan juga selalu digunakan untuk perlindungan tenaga kesehatan.

Sanksi masker medis palsu

Kemenkes, lanjutnya, selain memberikan izin edar masker juga terus melakukan pengawasan di peredaran terhadap produk-produk yang sudah memiliki izin edar. Untuk menindaklanjuti masker yang beredar ilegal, Kemenkes melakukan upaya melalui mekanisme kerja sama dengan aparat hukum.

Jika tenaga kesehatan dan masyarakat menemukan masker yang dicurigai tidak memenuhi standar agar melaporkan melalui akses Hallo Kemkes di 1500567.

Proses vaksinasi sudah berlanjut tapi masyarakat juga harus tetap menjaga protokol kesehatan salah satunya adalah tetap menggunakan masker.

“Saya mengimbau kepada seluruh tenaga kesehatan dan juga masyarakat untuk cermat memilih masker dalam menjaga diri dari penularan COVID-19. Jangan hanya tergiur dengan model atau apapun yang penting kita memilih masker yang sesuai dengan kebutuhan kita,” kata drg. Arianti.

Halaman Selanjutnya
Halaman Selanjutnya