Pandemi Bikin Penderita Mata Minus Meningkat, Ini Sebabnya
- Pixabay/Unsplash
VIVA – Organisasi Kesehatan Dunia (WHO) menyebut, sekitar 40 persen dari populasi dunia (3,3 miliar orang) akan menderita miopia atau rabun jauh atau mata minus pada 2030 mendatang. Bahkan, akan mencapai lebih dari setengah populasi dunia (4,8 miliar orang) pada 2050.
Terlebih, situasi pandemi COVID-19 turut berandil pada peningkatan kasus miopia, termasuk pada anak-anak.Â
Studi di China yang dilakukan baru-baru ini memperlihatkan, selama tahun 2020, anak usia 6-8 tahun, 3 kali lipat lebih rawan terkena miopia dibandingkan tahun-tahun sebelumnya. Lebih sedikit waktu di luar ruangan dan lebih banyak waktu menatap layar turut menjadi pemicunya.
Ketua Layanan JEC Myopia Control Care, Dr. Gusti G. Suardana, SpM(K), mengatakan, selain faktor genetik, gaya hidup turut menjadi faktor risiko dari timbulnya mata minus ini.Â
"Tak bisa dipungkiri, pandemi COVID-19 mengubah perilaku masyarakat. Aktivitas di luar ruangan jauh berkurang, sementara kelekatan terhadap gawai berlayar semakin tinggi," ujarnya saat peluncuran Myopia Control Care dari JEC Eye Hospitals & Clinics, yang digelar virtual, Selasa 23 Februari 2021.Â
"Anak-anak belajar jarak jauh secara daring, sedangkan kelompok dewasa juga bertumpu pada gadget untuk bekerja dan bersosialisasi. Artinya, semua kalangan usia semakin berpotensi terserang miopia," tutur dia.Â
Dokter Gusti menambahkan, bukan saja membuat penderitanya tak nyaman ketika beraktivitas, jika tidak segera diatasi, mata minus bisa menyebabkan komplikasi lanjutan, seperti mata malas, katarak, glaukoma, retina lepas, bahkan sampai kebutaan.Â
"Karenanya, gejala miopia yang terkesan remeh antara lain sering memicingkan mata saat melihat, kesulitan memandang jauh ketika berkendara, sering mendekatkan mata ke layar TV atau ponsel, mata terasa lelah dan tegang, serta kerap mengucek mata, patut diwaspadai," kata dia.Â
Oleh karena itu, Gusti menyarankan untuk melakukan pemeriksaan mata secara berkala, minimal 6-12 bulan sekali.
Â