Studi Baru, COVID-19 Ganggu Kesuburan Pria
- Pixabay
VIVA – Beberapa studi ilmiah terbaru mengungkapkan tentang perkembangan penyakit COVID-19. Terbaru, studi tersebut menyebut, perawatan plasma darah tidak menunjukkan manfaat pada pasien COVID-19 yang parah.
Tidak hanya itu saja, studi lain juga menunjukkan bahwa COVID-19 dapat mempengaruhi kesuburan pria. Berikut ini tiga studi terbaru mengenai COVID-19 seperti dilansir dari laman Times of India.
1. Perawatan Plasma Darah Tidak Menunjukkan Manfaat pada Pasien COVID-19
Para peneliti di Argentina melaporkan pada hari Selasa di The New England Journal of Medicine menyebut bahwa plasma darah dari penyintas COVID-19 tidak banyak bermanfaat bagi pasien dengan pneumonia COVID-19 yang parah. Dijelaskan bahwa terapi plasma, yang memberikan antibodi penyintas COVID-19 kepada orang yang terinfeksi, tidak meningkatkan status kesehatan pasien yang sakit kritis atau mengurangi risiko kematian akibat penyakit lebih baik daripada plasebo.
Penelitian ini didasarkan pada pemberian plasma darah atau plasebo ke 333 pasien rawat inap dengan pneumonia COVID-19 parah secara acak. Setelah 30 hari, mereka tidak melihat perbedaan yang signifikan pada gejala atau kesehatan pasien.
Dari penelitian itu diketahui, tingkat mortalitas hampir sama yakni 11% pada kelompok plasma sembuh dan 11,4% pada kelompok plasebo, perbedaan yang tidak dianggap signifikan secara statistik.
Masih ada kemungkinan bahwa terapi plasma dapat membantu pasien yang kurang sakit yang mendapatkan pengobatan lebih awal dalam penyakit mereka, kata pemimpin studi Dr. Ventura Simonovich dari Rumah Sakit Italiano de Buenos Aires.
Sebuah uji coba acak terpisah dari Argentina, yang di-posting pada hari Sabtu di medRxiv menjelang tinjauan sejawat, menemukan bahwa ketika pasien COVID-19 lansia menerima plasma dalam 72 jam setelah gejala mereka dimulai, mereka secara signifikan lebih kecil kemungkinannya untuk menjadi sakit parah.
2. COVID-19 dapat mengganggu kesuburan pria
Bukti kerusakan testis akibat COVID-19 telah terakumulasi dalam serangkaian studi otopsi kecil, yang menunjukkan bahwa virus corona baru dapat berdampak pada kesuburan pria. Peneliti dari University of Miami di Florida membandingkan jaringan testis dari enam pria yang meninggal karena COVID-19 dan tiga yang meninggal karena sebab lain. Diketahui, tiga dari pasien COVID-19 mengalami kerusakan testis yang akan mengganggu kemampuan mereka untuk memproduksi sperma.
Sebuah tim peneliti China melakukan pengamatan serupa awal tahun 2020 dan menemukan bahwa beberapa sistem kekebalan pasien COVID-19 'menyerang' testis, yang menyebabkan peradangan parah, atau orkitis. Sebuah tim peneliti di China yang terpisah menemukan 'kerusakan signifikan' pada jaringan seluler dasar testis pada 12 pria yang meninggal karena COVID-19.
"Kemungkinan COVID-19 merusak testis dan berdampak pada kesuburan ... memerlukan evaluasi fungsi gonad pada pria yang terinfeksi COVID-19, atau yang telah pulih dari COVID-19, dan menginginkan kesuburan," kata tim Miami menyimpulkan dalam sebuah laporan yang diterbitkan di World Journal of Men's Health.
3. Mutasi tampaknya tidak membantu penyebaran virus corona lebih cepat
Virus corona baru mengambil perubahan genetik saat menyebar ke seluruh dunia, tetapi mutasi yang didokumentasikan saat ini tampaknya tidak membantunya menyebar lebih cepat, kata para ilmuwan pada hari Rabu di jurnal Nature Communications.
Menggunakan kumpulan data global genom virus dari 46.723 orang pasien COVID-19 dari 99 negara, para peneliti mengidentifikasi lebih dari 12.700 mutasi pada materi genetik virus. Dari jumlah tersebut, para ilmuwan memfokuskan pada 185 mutasi yang mereka temukan telah terjadi setidaknya tiga kali secara independen selama pandemi.
"Untungnya, kami menemukan bahwa tidak satu pun dari mutasi ini yang membuat COVID-19 menyebar lebih cepat," kata rekan penulis Lucy van Dorp dari Institut Genetika Universitas College London.
Namun, para ahli lain menyatakan bahwa satu mutasi, yang dikenal sebagai D614G, memang meningkatkan penularan virus. Seorang profesor UCL, Francois Balloux yang mengerjakan penelitian tersebut, mengatakan bahwa temuannya, untuk saat ini, tidak menimbulkan ancaman bagi kemanjuran vaksin COVID-19.
“Virus itu mungkin saja memperoleh mutasi dari pelarian vaksin di masa depan, tetapi kami yakin kami akan dapat menandainya dengan segera, yang akan memungkinkan pembaruan vaksin tepat waktu jika diperlukan,” katanya.