Kisah Pasien COVID-19 Alami Sakit Kepala Parah

Rapid test Virus Corona.
Sumber :
  • pixabay

VIVA – Cerita di balik kisah perjuangan para penderita COVID-19 selalu menjadi pelajaran berharga untuk orang lain. Hal ini penting diketahui sebagai pembelajaran dan kewaspadan untuk terus menjaga kesehatan. 

Harvey Moeis Klaim Dana CSR Smelter Swasta Dipakai untuk Bantuan COVID-19

Kisah pasien COVID-19 asal India, Geetha Sundar menjadi sorotan. Dikutip laman Times of India, ia mengaku mengalami sakit kepala berdenyut yang parah Geetha Sundar harus melakukan perjalanan ke Chennai dari Mumbai untuk menghadiri kematian keluarganya. Dalam 4 hari setelah kembali, dia mengalami batuk kering yang diikuti dengan hidung meler, bau badan dan kelelahan yang ekstrem. 

Photo :
  • Freepik/Harryarts
Jangan Tertipu! Waspada Penipuan Berkedok Lowongan Kerja Remote, Ini Ciri-Cirinya

Ketika demam berlanjut selama 4-5 hari, Geetha dan keluarga pergi untuk menjalani  tes dan mereka dinyatakan positif. Inilah perjalanan COVID-nya.

COVID-19 bukanlah infeksi mematikan tetapi hanya infeksi yang mirip dengan flu. Jika seseorang mengetahui tentang karakteristiknya, pasti bisa sembuh dengan segera. 

Kedekatan Trump dan Putin Bocor, Sering Teleponan hingga Kirim Alat Tes COVID-19

"Di sini saya ingin menyebutkan ketakutan dan trauma yang menyertai orang yang positif COVID-19 dan tindakan pencegahan yang harus diamati setelah keluar dari infeksi," kata Geetha. 

"Bagaimana saya tertular COVID-19?"

Baca Juga: Banyak Hoax COVID-19, Kemenkes: Vaksin Gunanya Mencegah Sakit

Geetha bercerita, terkena COVID-19 saat harus melakukan perjalanan ke Chennai untuk menghadiri kematian keluarganya. Mungkin kata Geetha karena tidak adanya jaga jarak di penerbangan hingga menimbulkan kecemasan penumpang.

"Dalam 4 hari setelah saya kembali ke Mumbai, saya mulai merasa tidak enak badan. Awalnya gejalanya hanya batuk kering yang membuat saya berpikir itu bukan apa-apa, hanya alergi."

"Keesokan harinya saya turun dengan hidung meler, tidak ada indra penciuman, bersama dengan perasaan sangat lesu. Pekerjaan rumah tangga seperti memasak dan bersih-bersih menjadi sulit karena kelelahan dan sementara itu terjadi demam, tidak terlalu tinggi, tetapi kadang-kadang intens," kisahnya.

Photo :
  • pixabay

Geetha juga mengatakan, semua gejala ini mirip dengan flu biasa dan pengobatannya sesuai dengan itu. Dengan demam yang mereda selama 4-5 hari dan ditambah dengan fakta bahwa Geetha telah bepergian menyebabkan kecurigaan bahwa itu mungkin virus.

"Kemudian kami pergi untuk tes yang ternyata positif. Segera, kami memilih untuk secara institusional mengkarantina diri kami sendiri di hotel demi keselamatan kami dan orang lain di sekitar kami."

Baca Juga: Banyak Masker Medis Dijual Bebas, Hati-hati Sebelum Beli

Kehidupan di karantina

Menurut Geetha, kehidupannya saat menjalani karantina adalah kehidupan baru dimana ia merasa ada ketidakpastian apakah dia akan berhasil melewati cobaan ini atau tidak. 

"Saya mengalami sakit kepala yang parah seolah-olah seseorang membenturkan sesuatu di kepala saya dan ini mungkin merupakan indikasi bahwa virus berada di puncaknya," kisah Geetha. 

Tak hanya sakit kepala parah, dia juga mengalami demam dan merasakan berbagai kesulitan. "Saya menjalani terapi HCQ dan Azitromisin dan perlahan sakit kepala dan ketidaknyamanan mulai mereda dan saya mulai merasa lebih baik."

Ini adalah kehidupan baru di karantina baginya. Geetha merasa seperti dikurung di ruangan berukuran 10x10 tanpa ada pengunjung yang diizinkan masuk. Bahkan dia pun tak juga diizinkan untuk keluar.

"Dengan kesepian yang menghantui, seharusnya aku ceria dan berpikiran positif. Saya mulai melakukan yoga harian, pranayama sambil menonton TV, membaca buku dan membuat sketsa yang membuat saya sangat lega dan membantu saya menjaga ketenangan dan kendali saya."

Photo :
  • pixabay

Geetha hanya melihat dunia luar melalui satu-satunya jendela di ruangan itu dan telah membuat sketsa dari semua yang dilihatnya. Makanan dikirim ke kamar dalam satu paket tiga kali sehari, tetapi dia tidak bisamemilih menu apa yang diinginkan. Apa yang disediakan harus dikonsumsi. 

"Keuntungan terbesar berada di karantina adalah memberi waktu untuk pulih dengan mengurangi ketegangan pada diri sendiri, tetapi juga dapat menyebabkan kebosanan dan depresi jika tidak ditangani dengan baik."

Pada hari ke-14, Geetha akhirnya dinyatakan negatif kemudian mulai membuat rencana untuk kepulangannya ke rumah.

Baca Juga: Vaksin COVID-19 Dipakai Walau Belum Lolos Uji Klinis, Amankah?

Apakah COVID-19 benar-benar berbahaya?

Geetha mengakui COVID-19 berbahaya. Setiap individu rentan karena virus tidak menunjukkan warna aslinya secara lahiriah, komorbiditas dan orang lanjut usia lebih rentan. Ini mempengaruhi semua orang tanpa diferensiasi dan tidak mungkin untuk menentukan sumber infeksi. 

"Gejala awal seperti batuk kering, kelelahan, nyeri tubuh, dan demam sangat mirip dengan flu biasa.Hal ini perlu dihindari dan setiap kegelisahan di tubuh harus dilihat dengan kecurigaan dan bantuan medis harus dicari karena jika tidak, kondisinya dapat memburuk dengan sangat cepat sehingga menyebabkan rawat inap," kata Geetha.

Geetha juga mengabarkan, alat diagnostik seperti tes darah, sinar-X dan EKG akan digunakan untuk menentukan tingkat keparahan infeksi dan cara pengobatan. "Butuh waktu hampir empat minggu untuk kembali ke diri saya yang normal sejak timbulnya gejala meskipun gejala saya ringan," ujar Geetha lagi.

Geetha pun memberikan tips Bagaimana melindungi diri dari COVID-19.
"Ketika saya tidak terkena COVID-19, saya tidak memikirkan konsekuensi tertularnya. Pertama dan terpenting, lebih baik tidak mengabaikan gejala apa pun," katanya. 

Sekalipun gejalanya sangat ringan, seseorang harus segera pergi untuk melakukan pemeriksaan ke dokter. Dokter pun mengatakan bahwa virus tinggal di tubuh kita hanya selama 8 sampai 10 hari tetapi tingkat CRP (protein reaktif) dan juga beban virus pada seseorang membuat perbedaan dalam hal kematian pasien. 

Ketika tingkat CRP tinggi, itu mempengaruhi paru-paru, jantung dan bagian tubuh lainnya dengan parah. "Jadi sebaiknya dilakukan test (RC-PCR) karena dari luar tidak akan bisa menilai intensitas virusnya. Saya telah menjalani tes CRP serta D-Dimer."

Photo :
  • pixabay

"Dalam kasus saya, tingkat CRP lebih tinggi dari suami saya jadi saya diberi Azitromisin selain HCQ."

Geetha berpesan, selain mencuci tangan, memakai masker dan menjaga jarak, cobalah untuk lebih banyak makan buah-buahan segar, sayur mayur dan makanan berbasis protein. Berolahraga, tidur nyenyak, yoga, dan mengejar hobi adalah hal yang penting. 

"Mereka yang tidak sehat (pasien jantung, diabetes dll)] harus minum obat lain secara teratur dan harus menghindari kecemasan stres terkait COVID-19."

Diakui Geetha ketika dinyatakan postif terjangkit COVID-19 dia benar-benar tidak tahu bagaimana harus bereaksi terhadap orang-orang di sekitar. Geetha merasa tak nyaman. Bahkan, Geetha tidak bisa segera mendapatkan transportasi untuk mencapai fasilitas karantina. 

"Ketakutan akan "What Next" sangat menarik bagi kami. Setelah memengaruhi seseorang, dibutuhkan waktu hampir empat minggu untuk kembali ke kehidupan normal."

Geetha pun mengatakan, penting untuk setiap orang memiliki termometer, serta Pulse Oximeter (untuk mengetahui tingkat demam, kadar Oksigen dalam darah), karena alat ini penting untuk menjadi tolak ukur.

Seperti diketahui, kasus COVID-19 masih tinggi. Untuk itu patuhi selalu protokol kesehatan dan jangan lupa lakukan 3M: Memakai Masker, Menjauhi Kerumunan, dan Mencuci Tangan Pakai Sabun. 

#ingatpesanibu
#jagajarak
#pakaimasker
#cucitanganpakaisabun
#satgascovid19 

Virus Corona atau Covid-19.

How an App Became Indonesia's Essential Weapon Against Covid-19

Indonesia once faced the challenges of the Covid-19 pandemic. As part of an effort to provide early prevention it, can be done by an app.

img_title
VIVA.co.id
4 November 2024