Penjelasan Medis Kenapa Pria Berisiko Tinggi Meninggal Akibat COVID-19
- Pixabay
VIVA – Delapan bulan sudah dunia menghadapi pandemi COVID-19. Selama itu, sejumlah penelitian terkait virus ini terkuak, salah satunya terkait pria lebih berisiko lebih tinggi terkena dan meninggal akibat COVID-19.
Februari lalu, Pusat Pengendalian dan Pencegahan Penyakit China menganalisis 72 ribu pasien dan menemukan bahwa pria lebih berisiko meninggal dibanding wanita. Organisasi Kesehatan Dunia (WHO) melaporkan sebanyak 63 persen kematian COVID-19 di Eropa didominasi oleh pria. Sedangkan angka kematian akibat COVID-19 pria di Amerika Serikat 2 kali lipat dari wanita.
Lalu. apa yang membuat pria lebih berisiko dibanding wanita? Dilansir dari laman Times of India, faktor kondisi kesehatan dan penyakit penyerta memiliki hubungan langsung dengan komplikasi, risiko dan tingkat keparahan COVID-19.
Meskipun COVID-19 sama-sama berisiko untuk semua kelompok umur, mereka yang mengalami gangguan kondisi kesehatan lebih cenderung terpapar infeksi yang parah atau mengalami pemulihan yang berkepanjangan. Tekanan darah tinggi, diabetes dan penyakit jantung, beberapa faktor paling umum yang membuat COVID-19 lebih berisiko lebih umum terjadi pada pria.
Baca juga: Tiga Gejala Baru Virus Corona, Nomor 1 Dialami Setiap Hari
Hal yang sama juga terlihat pada penyakit hati dan beberapa jenis kanker. Meskipun tidak ada bukti konklusif yang menunjukkan hal ini, ini pasti bisa menjadi salah satu faktor yang terkait dengan tingkat keparahan COVID-19.
Faktor non-fisiologis juga dapat memengaruhi kemungkinan pria terpapar virus ini. Di banyak tempat, pria lebih mungkin terpapar dibanding wanita karena pekerjaan luar ruangan, yang juga dapat meningkatkan risiko masalah kesehatan terkait polusi.
Alasan lain bisa jadi karena perilaku mereka sendiri. Sebuah studi baru-baru ini menemukan bahwa pria lebih cenderung terlibat dalam pertemuan sosial, pergi ke tempat-tempat dengan risiko penyakit yang lebih tinggi dan bahkan mengabaikan pesan dan peringatan pencegahan, yang dapat merugikan perang melawan COVID-19.
Pria juga lebih cenderung menunda mendapatkan perawatan kesehatan yang tepat atau mengabaikan gejala awal, yang dapat menyebabkan keparahan dan komplikasi di kemudian hari.
Selain itu, faktor kekebalan individu juga turut andil. Ada bukti kuat yang menunjukkan bahwa pria mungkin memiliki konsentrasi reseptor ACE2 (angiotensin-converting enzyme 2) yang lebih besar di dalam tubuh mereka, yang membantu virus corona menempel dan menyebar ke dalam tubuh. Ini bisa menjadi salah satu alasan utama mengapa COVID-19 tampaknya lebih banyak menginfeksi pria jika dibandingkan dengan wanita.
Selain itu, pengujian yang agresif dan tepat waktu telah menjadi kunci untuk mencegah penyakit dan mempercepat pemulihan. Studi populasi yang dilakukan di banyak negara telah menunjukkan bukti bahwa wanita, lebih cenderung mencari tes proaktif dan menyadari gejala yang harus diwaspadai daripada pria. Oleh karena itu, ketika wanita benar-benar mengalami gejala, mereka mungkin lebih mungkin mencari tes secara proaktif dibandingkan pria.
Pria dan wanita memiliki susunan genetik yang berbeda. Studi independen yang dilakukan di AS menemukan bahwa keuntungan memiliki kromosom 'X' ekstra membuat wanita tidak terlalu berisiko terhadap COVID-19. Temuan penelitian juga mendorong para peneliti untuk memulai uji klinis juga di mana pria diberi estrogen untuk melihat apakah itu memberi mereka manfaat yang menjanjikan dalam mencegah COVID-19. Faktanya, sebuah studi yang dilakukan oleh Wake Forest Baptist Medical Center di AS menemukan bahwa kadar estrogen yang tinggi mampu menurunkan kerja reseptor ACE2 dan mencegah COVID-19 dari replikasi di dalam tubuh.
Tidak hanya itu, evolusi juga berperan di sini. Sains telah berulang kali menemukan bahwa wanita lebih mudah beradaptasi dan lebih tangguh dalam menghadapi kesulitan dan memiliki tingkat kelangsungan hidup yang lebih tinggi dalam kasus pandemi daripada pria.
Baca juga: Bukan Cuma Tertular, Ini Risiko Jika Jemput Paksa Jenazah COVID-19