Ahli Jantung Peringatkan Patah Hati Bisa Berujung Kematian
- Freepik
VIVA –Hampir semua orang pasti pernah mengalami patah hati, setidaknya sekali seumur hidup. Tapi hati-hati, jangan terlalu larut dalam kesedihan, karena patah hati ternyata bisa berujung kematian.
Adalah broken heart syndrome atau sindrom patah hati, atau para ahli sering menyebutnya sebagai kardiomiopati akibat stres. Menurut Dr. Matthew Lorber, psikiater di Lenox Hill Hospital di New York, ini merupakan kondisi yang disebabkan oleh stres ekstrem tiba-tiba.
Baca Juga: Hati-hati, 4 Zodiak Ini Dapat Menghancurkan Hati Anda
"Sindrom patah hati yang sebenarnya adalah hal nyata, adalah saat seseorang mengetahui berita mengejutkan, biasanya berkaitan dengan berita buruk, dan ada pelepasan besar-besaran hormon stres yang dilepaskan ke aliran darah dan jantung, kemudian dibombardir dengan hormon stres ini," kata Dr Lorber," dikutip Healthy Food House, Minggu, 30 Agustus 2020.
Lorber turut memperingatkan. Hal yang mengejutkan tidak harus terkait dengan peristiwa negatif. Itu juga bisa terjadi pada pria yang diberi tahu bahwa dia akan menjadi ayah untuk pertama kalinya.
Hormon stres yang menyebabkan melemahnya ventrikel kiri untuk sementara, sehingga memengaruhi fungsi jantung normal. Stres dapat melumpuhkan jantung dan mengganggu sirkulasi normal.
Beberapa faktor risiko dapat meningkatkan peluang untuk mengembangkan kondisi ini. Terlebih, sindrom patah hati dapat terjadi pada siapa saja. Bahkan, orang yang paling sehat di bumi sekalipun pasti pernah mengalami patah hati.
Para ahli menjelaskan, 90 persen dari penderitanya adalah wanita. Wanita dengan riwayat masalah kesehatan mental dan masalah neurologi berisiko lebih tinggi terkena kondisi ini. Orang yang berusia di atas 50 tahun, juga memiliki risiko yang sama. Sedangkan riwayat penyakit jantung, tidak memengaruhi risiko terkena sindrom patah hati.
Kebanyakan penderitanya bisa mendapatkan pengobatan yang tepat. Sindrom ini seringkali menyerupai serangan jantung dan dapat menyebabkan nyeri dada, sesak napas, tekanan darah rendah, mual, pusing, pingsan, atau detak jantung tidak teratur.
Teori berbasis stres memang benar dan banyak ahli telah mengonfirmasinya. Namun, Dr. Kevin R. Campbell, ahli jantung dan asisten profesor kedokteran di University of North Carolina, mengatakan penyebab sindrom ini masih belum diketahui.
"Sungguh hal yang menarik yang tidak sepenuhnya kami pahami," kata dia.
Campbell menceritakan, sekelompok peneliti Jepang adalah yang pertama kali menggambarkan kondisi ini pada tahun 1990. Mereka biasa menyebutnya sebagai sindrom Takotsubo.
Sindrom patah hati mirip dengan serangan jantung, tetapi ada satu perbedaan utama. Pasien dengan sindrom Takotsubo, tidak memiliki penyumbatan di jantung. Arteri mereka terlihat normal, tapi jantungnya membesar, menggelembung dan fungsinya benar-benar lemah.