Cegah Keturunan Alami Stunting Sejak Usia Remaja

ilustrasi remaja
Sumber :
  • pexels

VIVA – Stunting masih menjadi isu besar bagi bangsa Indonesia. Stunting sendiri merupakan gangguan pertumbuhan dan perkembangan pada anak-anak yang mengalami gizi buruk, infeksi, dan stimulasi psikososial yang tidak memadai.

Inovasi dan Adaptasi Teknologi Informasi Penting Bagi Program PKK

Jika kondisi tersebut tidak tertangani, Sumber Daya Manusia Indonesia akan berdampak di masa mendatang. Berbicara Stunting, berdasarkan data Riskesdas 2018 menunjukkan, 8,7 persen remaja usia 13-15 tahun dan 8,1 persen remaja usia 16-18 berada dalam kondisi kurus dan sangat kurus.

Global Health survei 2015 menunjukkan, penyebabnya antara lain remaja jarang sarapan, 93 persen kurang makan serat sayur buah. Ditambah angka pernikahan remaja di Indonesia tinggi, padahal hal ini berkontribusi pada kejadian stunting. Untuk itu, upaya menurunkan angka stunting terus dilakukan dengan melibatkan berbagai pihak, pemerintah maupun swasta. Tidak hanya itu, remaja juga perlu dilibatkan dalam berbagai program pencegahan stunting sejak dini. 

Empowering Communities and Technology to End Stunting in Indonesia

Sebab, Menurut Program Advocacy and Communications Manager Tanoto Foundation, Indiana Basitha, banyak yang menyangka isu stunting hanya untuk orangtua dan pasangan yang sudah menikah. Lalu, apa penyebab stunting sesungguhnya? Simak selengkapnya di halaman berikut!

Baca Juga: Pandemi Corona, 24 Juta Balita Indonesia Berisiko Alami Gizi Buruk

Kunjungan ke Jayawijaya, Wamendagri Ribka Ingatkan Bahaya Stunting bagi Anak-Anak

Sebenarnya stunting adalah sebuah siklus. Jika calon ibu punya asupan gizi kurang sejak remaja ia beresiko punya anak kurang gizi dan si anak akan mencontoh pola makan ibunya dan terus berputar.

“Siklusnya dimulai sejak remaja putri. Maka masalah stunting harus jadi awareness sejak remaja agar mereka menjaga asupan gizinya, karena ia adalah calon orangtua,” kata dia dalam webinar, Rabu 26 Agustus 2020.

Di sisi lain, salah satu penerima Tanoto Scholars angkatan 2017, Melinda Mastan, menambahkan, penting untuk melibatkan remaja dalam penanggulangan stunting karena beberapa alasan. Pertama, remaja berada di garis depan dalam inovasi dan agen perubahan. 

“Saat ini eranya diambil alih oleh anak muda. Banyak inovasi dikembangkan anak muda yang sudah memulainya sejak remaja. Dari merekalah inovasi lahir karena mereka masih memiliki semangat, idealisme, dan kreativitas tinggi,” jelasnja. 

Baca Juga: Jangan Cuma Ibu, Ayah Juga Wajib Kontrol Tumbuh Kembang Anak

Oleh karena itu, remaja bisa menjadi pintu masuk untuk pengembangan program. “Remaja juga calon orangtua masa depan. Penelitian menyebutkan, status gizi ibu akan berpengaruh pada anaknya. Status gizi ibu ini sudah dibangun sejak mereka remaja, sehingga perilaku dan kebiasaan hidup yang sehat sudah harus dibangun sejak remaja,” tambahnya. 

Pengamat kesehatan Dr. Reisa Broto Asmoro juga sependapat bahwa jika di masa remaja belum dapat ilmu tentang gizi, akan sulit ke depannya dalam kehidupan keluarga.

“Indonesia darurat stunting. Kita butuh gerakan yang nyata, yang bisa mengubah kondisi ini. Kondisi anak sudah stunting tidak bisa berubah, yang penting bagaimana kita harus menyelamatkan generasi setelahnya,” ujar dr. Reisa.

Menurut Reisa, saat ini tidak ada ilmu parenting di sekolah. Paling hanya kesehatan reproduksi. Oleh karena itu sudah seharusnya pemerintah memasukan ilmu ini di masa remaja yang sedang ingin tahu segala sesuatu, apalagi di masa pubertas. Kalau tidak punya pengetahuan, mereka tidak akan siap saat harus merawat anak.

“Edukasi di usia remaja, sejak usia 10-19 tahun adalah masa krusial. Harus tepat informasinya. Apalagi Indonesia kebanyakan mitosnya yang belum tentu benar tapi lebih dipercaya. Takutnya info yang kurang tepat akan mereka bawa terus sampai nanti punya anak,” tambah dr. Reisa.

Halaman Selanjutnya
Halaman Selanjutnya