Happy Hypoxia Gejala Baru COVID-19, Ini Kata Peneliti
- U-Report
VIVA – Penelitian baru menunjukkan bahwa fenomena happy hypoxia tidak biasa, atau silent hypoxemia, pada pasien COVID-19 mulai banyak dialami. Kondisi ini dianggap bertentangan secara teori bahkan membingungkan para ilmuwan.
Pandemi COVID-19 yang sedang berlangsung menyimpan banyak misteri. Yang kini lebih membingungkan adalah frekuensi silent hypoxemia, atau happy hypoxia. Dikutip dari laman Medical News Today, Hipoksemia didefinisikan sebagai penurunan tekanan parsial oksigen dalam darah.
Ketika kadar oksigen darah mulai berkurang, seseorang mungkin mengalami sesak napas, yang juga disebut dispnea. Jika kadar oksigen dalam darah terus menurun, organ-organ mungkin mati, dan masalahnya menjadi mengancam nyawa.
COVID-19 pada dasarnya adalah penyakit pernapasan, dan kasus yang parah dapat mengurangi jumlah oksigen yang dapat diserap paru-paru. Tingkat oksigen darah ditemukan sangat rendah pada beberapa pasien COVID-19.
Baca juga: Pilih Salah Satu Kartu, Keberuntunganmu Akan Terungkap
Meskipun kadar oksigen dalam darah rendah, beberapa pasien tampaknya dapat beraktivitas tanpa masalah serius atau bahkan sesak napas. Kondisi tersebut sangat membingungkan dokter dan dianggap bertentangan dengan teori biologi dasar.
Kini, sebuah studi baru menunjukkan bahwa prinsip lama fisiologi pernapasan dapat menjelaskan kehadiran pasien silent hypoxemia dengan COVID-19 yang membingungkan itu. Penulis utama studi tersebut, Dr. Martin J. Tobin, seorang profesor kedokteran paru dan perawatan kritis di Loyola University Medical Center, di Maywood.
Untuk memahami mengapa hal ini terjadi, Dr. Tobin dan rekan pertama kali melakukan survei informal terhadap 58 petugas kesehatan yang menanyakan apakah mereka pernah mengalami kasus silent hypoxemia, atau happy hypoxia. Tim menerima 22 tanggapan dengan data yang berguna.
Setelah menganalisis data, penulis menyimpulkan bahwa banyak kasus silent hypoxemia dapat dijelaskan melalui ilmu pernapasan konvensional. Misalnya, penyedia layanan kesehatan biasanya pertama-tama mengukur kadar oksigen dengan oksimeter denyut.
Dr. Tobin menunjukkan bahwa meskipun oksimeter denyut sangat akurat saat membaca kadar oksigen tinggi, namun tidak langsung mendeteksi tingkat keparahan kadar oksigen yang rendah. Ia juga mencatat bahwa otak mungkin tidak segera mengenali bahwa kadar oksigen dalam darah telah berkurang.
“Saat kadar oksigen menurun pada pasien dengan COVID-19, otak tidak merespons sampai oksigen turun ke tingkat yang sangat rendah, pada titik di mana, seorang pasien biasanya menjadi sesak napas," jelasnya.
Selain itu, lebih dari separuh pasien dengan silent hypoxemia juga memiliki kadar karbon dioksida yang rendah, yang diyakini Dr. Tobin dan timnya dapat mengurangi efek kadar oksigen darah yang rendah.
Baca juga: Lesty Dirawat di Rumah Sakit, Rizky Billar Kirim Doa
“Ada kemungkinan juga bahwa virus korona melakukan tindakan aneh pada bagaimana tubuh merasakan tingkat oksigen yang rendah,” kata Dr. Tobin.
Spekulasi hal ini dapat dikaitkan dengan kurangnya penciuman yang dialami banyak pasien COVID-19. Untuk itu, dr. Tobin menyarankan agar pemakaian ventilasi tambahan tak digunakan jika bukan dalam keadaan darurat.
"Informasi baru ini dapat membantu menghindari intubasi endotrakeal dan ventilasi mekanis yang tidak perlu, yang menghadirkan risiko," tuturnya.