Imunomodulator Herbal Ini Uji Klinis untuk COVID-19

Ilmuwan melakukan penelitian virus corona baru.
Sumber :

VIVA – Saat ini tim peneliti yang berasal dari Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI) tengah melakukan koleksi data hasil uji klinis yang akan dikirimkan ke Badan Pengawas Obat dan Makanan (BPOM) selaku regulator. Produk herbal tersebut rencananya akan diberikan sebagai pengobatan pasien COVID-19.

Bertarung Pulihkan Pandemi, Jalan Terjal Pemerintah Indonesia Bangkit dari Belenggu COVID-19

Dua produk yang diuji klinis adalah Cordyceps militaris dan kombinasi ekstrak herbal yang terdiri dari rimpang jahe merah (Zingiber officinale var Rubrum), daun meniran (Phyllanthus niruri), sambiloto (Andrographis paniculata), dan daun sembung (Blumea balsamifera). 

“Kombinasi herbal tersebut sudah diformulasikan, memiliki data stabilitas dan ada prototipenya,” kata Masteria Yunovilsa Putra, Ph.D dari Pusat Penelitian Bioteknologi LIPI selaku Koordinator Kegiatan Uji Klinis Kandidat Imunomodulator Herbal untuk Penanganan COVID-19.

COVID-19 di Jakarta Naik Lagi, Total Ada 365 Kasus

Dikutip dari siaran pers LIPI, terdapat dua produk uji dan satu plasebo yang diberikan secara acak dan merata kepada 90 subjek uji yang dibagi menjadi tiga kelompok. Kelompok perlakuan pertama mendapat terapi standar COVID-19 dan IP1.

Baca juga: Tips Geliatkan Pariwisata di Masa Pandemi COVID-19

Kasus COVID-19 di DKI Jakarta Naik Sejak November 2023

Kemudian kelompok perlakuan kedua mendapat terapi standar COVID-19 dan IP2, dan kelompok kontrol mendapat terapi standar COVID-19 dan plasebo. Tujuan utama dari uji klinis ini adalah untuk melihat apakah waktu yang diperlukan untuk mencapai perbaikan gejala klinis non-spesifik menjadi lebih pendek durasinya. 

“Uji klinis ditujukan untuk mengetahui berapa lama waktu yang dibutuhkan untuk mencapai hasil RT-PCR negatif setelah adanya perbaikan gejala klinis,” kata Masteria.

Riset ini sudah dimulai sejak 8 Juni lalu. Uji klinis melibatkan 90 subyek penelitian dengan rentang usia 18 hingga 50 tahun yang diberikan intervensi selama 14 hari.

Kriteria subyek penelitian adalah pasien positif COVID-19 baru yang telah dikonfirmasi melalui Reverse Transcription-Polymerase Chain Reaction (RT-PCR) dan memiliki gejala pneumonia ringan. 

Baca jug: Mutasi Virus Corona di Malaysia 10 Kali Lebih Menular

Subjek juga tidak hamil atau menderita penyakit lain seperti DBD, demam tifus, gangguan jantung, gangguan ginjal, maupun memiliki alergi terhadap produk yang diujikan.

Dengan metode sistem blinding yang acak dan tersamar ganda, baik subjek maupun peneliti tidak mengetahui apakah yang diberikan kepada subjek tersebut adalah salah satu dari produk yang diujikan atau plasebo. 

“Metode uji klinis kandidat imunomodulator dilakukan secara acak terkontrol tersamar ganda dengan plasebo untuk menghindari terjadinya bias pada penelitian,” tutur Masteria.

Adapun penelitian turut melibatkan Perkumpulan Dokter Pengembang Obat Tradisional dan Jamu Indonesia (PDPOTJI), Perhimpunan Dokter Paru Indonesia (PDPI), Badan Penelitian dan Pengembangan Kesehatan (Balitbangkes) Kementerian Kesehatan, Badan Nasional Penanggulangan Bencana (BNPB), Tentara Nasional Indonesia, dan tim tenaga kesehatan RSDC Wisma Atlet Kemayoran.

Halaman Selanjutnya
Halaman Selanjutnya