Marak Klaim Obat COVID-19, YLKI: Penanganan Wabah Itu Kedodoran

Ilustrasi virus corona/COVID-19.
Sumber :
  • Freepik/freepik

VIVA – Ketua Pengurus Harian Yayasan Lembaga Konsumen Indonesia atau YLKI, Tulus Abadi, mengungkap beberapa hal yang menjadi penyebab maraknya klaim obat yang dapat menyembuhkan virus corona atau COVID-19

Tolak PPN Naik Jadi 12 Persen, YLKI Beberkan Ketidakadilan dalam Pemungutan Pajak

Tulus menilai, ada beberapa masalah, seperti buruknya politik manajemen wabah oleh pemerintah sejak awal. “Akhir Februari sampai sekarang, kita melihat politik manajemen penanganan wabah itu kedodoran,” ujar Tulus Abadi.

Lewat acara virtual presss conference Menyikapi Maraknya Klaim Obat COVID-19 Melalui Media Sosial, Senin 10 Agustus 2020, Tulus juga menjelaskan, penyebab lainnya adalah aspek tekanan psikologi konsumen, lemahnya literasi konsumen terhadap produk obat-obatan, dan juga belum optimalnya pendekatan hukum.

How an App Became Indonesia's Essential Weapon Against Covid-19

"Saya kira empat hal ini yang melingkupi mengapa klaim obat COVID-19 itu marak. Jadi, tidak bisa dilihat secara mikro tapi juga kita bisa melihat secara makro, dari hulunya dan tidak dari hilirnya," lanjut dia. 

Baca Juga: Jangan Sampai Kelewat Promo Berlimpah di Hari Kemerdekaan, Cek di Sini

Harvey Moeis Klaim Dana CSR Smelter Swasta Dipakai untuk Bantuan COVID-19

Menurut Tulus, Pemerintah terlalu fokus pada aspek ekonomi, sehingga membuat jumlah orang yang terinfeksi COVID-19 semakin meluas. Bahkan, Indonesia menempati peringkat 24 di seluruh dunia. Padahal, cara ini tidak serta merta memperbaiki kondisi ekonomi kita. 

"Pertumbuhan ekonomi nyungsep, kadang-kadang kita aman, toh faktanya kita minus 5,13 persen dan kita diambang resesi. Apalagi di negara-negara ASEAN, seperti Singapura dan negara-negara lain juga sudah mengalami resesi. Artinya, menurut saya manajemen penanganan wabah, pemerintah keliru dengan mengutamakan aspek ekonomi, padahal pandemi menjadi dasar untuk sosial dulu," kata dia. 

Tulus juga menilai, pejabat-pejabat memberikan contoh buruk dalam merespons virus corona. Mulai dari adanya nasi kucing anti corona, doa Qunut anti corona, jamu Pancasila, dan yang terakhir kalung eucalyptus oleh Menteri Pertanian. 

"Ini artinya selevel pejabat juga memberikan contoh-contoh buruk yang kurang baik, kurang produktif, membodohkan dan kurang mencerdaskan. Sehingga kalau saat ini ada klaim-klaim bermunculan, itu sebenarnya efek dari itu semua," tuturnya. 

Kemudian, dari aspek psikologi konsumen. Di tengah pandemi ini, Tulus menilai konsumen mengalami tekanan psikologis yang sangat kuat. Salah satunya takut terinfeksi COVID-19, dikarenakan belum ada obat atau vaksin, sehingga mereka mencari jalan keluar sendiri. 

"Sebenarnya secara undang-undang kita boleh melakukan pengobatan mandiri. Tapi kalau kemudian dikomersialkan, iklan segala macem, itu yang jadi persoalan. Belum lagi, konsumen juga mengalami tekanan ekonomi yang sangat dalam, karena pendapatannya turun, gaji dipotong, dirumahkan atau di PHK," kata Tulus. 

Yang terakhir mengenai literasi konsumen terhadap produk obat, jamu dan herbal. Menurut Tulus, masyarakat kurang memahami bahwa klaim-klaim obat jamu itu ada level-levelnya.

Halaman Selanjutnya
Halaman Selanjutnya