Logo DW

Kontroversi Seputar Ibuprofen untuk Obati COVID-19 Berlanjut

picture-alliance/dpa/L. Mirgeler
picture-alliance/dpa/L. Mirgeler
Sumber :
  • dw

Komisi pengawas obat-obatan Inggris sebelumnya menarik kesimpulan, ibuprofen tidak bermasalah untuk mengobati COVID-19. Obat ini bisa menurunkan demam dan meringankan gejala mirip influenza. Para peneliti di Inggris berharap, satu jenis ibuprofen bisa meringankan jalannya penyakit akibat Covid-19.

Pasien dengan gejala sakit berat, mungkin tidak perlu lagi dibantu alat bantu pernapasan atau ventilator. Alat bantu ini sering memicu koplikasi yang bisa menyebabkan kematian pasien.

Pemberian ibuprofen yang obat anti nyeri dan inflamasi untuk pasien Covid-19, sejak bulan Maret lalu memicu diskusi ilmiah panas, terkait apakah unsur aktifnya bermanfaat atau justru berdampak buruk.

Kontroversi dipicu pernyataan WHO

Teori mengenai bahaya ibuprofen sejauh ini belum ada konfirmasinya. Juga tidak ada riset yang meyakinkan dan dapat dipercaya. Organisasi Kesehatan Dunia juga mengakui hal tersebut.

Walau begitu, jurubicara WHO, Christian Lindmeier pada 17 Maret lalu di Jenewa menyatakan, pasien COVID-19 jangan menggunakan ibuprofen tanpa konsultasi dengan dokter. Sebaliknya pasien disarankan menggunakan obat lainnya, Paracetamol.

Kebingungan jadi komplet, setelah WHO dua hari kemudian menarik kembali pernyataan tersebut. Tapi lewat twitter WHO tetap menyarankan, agar orang berkonsultasi dengan dokter.

Tanggapan pakar virologi Jerman

Menimbang belum adanya data dan fakta yang sahih, para pakar virologi terkemuka dari Jerman sejauh ini sangat berhati-hati menanggapi isu efek negatif ibuprofen pada pasien COVID-19.

"Kami hanya tahu sedikit menyangkut patogenesis virus Sars-CoV-2. Tambahan lagi, sejauh ini tidak ada data klinisnya“, ujar pakar virologi Jonas Schmidt-Chanasit dariBernhard-Nocht-Institut für Tropenmedizin (BNITM) menanggapi perdebatan saat itu.

Juga pakar virologi terkemuka lainnya, Christian Drosten dari rumah sakit Charité di Berlin menyampaikan keraguannya.

“Walau virus Sars-CoV-2 adalah jenis baru, tapi kami sudah memahami virus corona jenis lainnya sejak lama. Pada virus corona lainnya, tidak ada bukti bahwa penggunaan ibuprofen memperburuk sesuatu. Jika ada efek negatifnya, kita sekarang ini pasti sudah tahu,” kata Drosten.

Juga para pakar virologi secara senada memperingatkan, para pasien jangan panik, dan memutuskan sendiri menghentikan penggunaan obat ACE-blocker dan beralih ke obat dengan unsur aktif lain tanpa konsultasi dokter.

Dari mana datangnya dugaan?

Dasar dugaan efek negatif ibuprofen, atau obat ACE-blocker lainnya, pada pasien COVID-19 adalah artikel yang dipublikasi dalam jurnal ilmiah Lancet Respiratory Medicine, edisi 11 Maret 2020.

Dalam artikel itu tiga orang penulisnya, L. Fang, G. Karakiulakis dan M. Roth bahwa obat-obatan ACE blocker, termasuk ibuprofen dapat memperburuk perjalanan penyakit COVID-19. Tapi dengan tegas para penulis juga menekankan, bahwa hal itu diformulasikan sebagai hipotesa.

Hasil uji laboratorium menggunakan tikus yang sakit diabetes, menunjukkan ibuprofen punya pengaruh atas sistem regulasi tubuh. Ujicoba dengan tikus sehat, menunjukkan bahwa Ibuprofen meningkatkan ACE2 pada sel-sel jantung.

Namun pengetahuan dari hasil uji laboratorium pada tikus tidak bisa digunakan sebagai kesimpulan universal yang berlaku umum. Karena sejauh ini tidak ada data dan bukti yang benar-benar akurat dan dapat dipercaya.