Lentera Anak Kritisi Influencer yang Permisif soal Rokok

Imbauan Kemenkes untuk setop merokok
Sumber :
  • Instagram/@kemenkes_ri

VIVA – Tanggal 31 Mei diperingati sebagai World No Tobacco Day atau Hari Tanpa Tembakau Sedunia (HTTS). Dengan tema Lindungi Kaum Muda dari Manipulasi Industri dan Cegah dari Konsumsi Rokok dan Nikotin, WHO mengajak seluruh platform media sosial untuk melarang pemasaran tembakau dan produk yang berkaitan serta promo oleh influencer terkait hal ini.

Bangun Pemahaman Mahasiswa, Bea Cukai Gelar Sosialisasi di Lamongan, Semarang, dan Makassar

Lisda Sundari, Ketua Lentera Anak, memberi pandangannya terkait masalah rokok di kalangan anak muda Indonesia. Menurut Lisda, salah satu penyebab tingginya jumlah perokok anak adalah karena industri rokok sangat gencar menyasar anak muda sebagai target pemasaran produknya dengan melakukan berbagai kegiatan manipulatif melalui iklan, promosi, sponsor, kegiatan CSR, informasi misleading, dan produk-produk baru. Sementara di sisi lain peraturan dan perlindungan kepada anak dan remaja masih sangat lemah.

Dalam siaran pes yang diterima VIVA, Lisda menjelaskan selama berpuluh tahun industri rokok gencar menayangkan iklan rokok yang mengandung pesan manipulatif di berbagai media, seperti elektronik, cetak, billboard, spanduk, dan sebagainya. Iklan rokok dibuat kreatif dan menarik, serta dikemas dengan sangat halus dan terselubung sehingga perlahan tapi pasti tanpa disadari merasuki alam bawah sadar anak muda, sehingga mematikan daya kritis anak muda terhadap industri rokok dan produknya.

Serikat Pekerja Tembakau Tolak Aturan Kemasan Rokok Tanpa Merek, Singgung soal HAKI

Namun di era post-truth saat ini, jelas Lisda, industri rokok di seluruh dunia semakin kreatif memanipulasi anak muda melalui cara-cara baru dengan menggunakan media sosial, influencer anak muda, penggunaan konten film serial beradegan merokok (Netflix, Iflix, Viu), membangun komunitas anak muda dan menggunakan native advertisement (membuat artikel pesanan yang bermuatan promosi rokok).

Begitu pula dalam mempromosikan rokok elektrik, industri rokok agresif menarik perokok pemula anak dan remaja dengan membuat variasi aneka rasa yakni manis, mint, dan buah-buahan. Siasat menjual rasa aman dalam mempromosikan rokok elektrik juga dilakukan, salah satunya dengan menyampaikan bahwa rokok elektrik 95 persen lebih aman bagi kesehatan dibandingkan rokok biasa. Tidak jarang rokok elektrik diposisikan sebagai cara efektif untuk berhenti merokok, sehingga banyak anak muda memilih berpindah dari rokok tembakau kepada rokok elektrik dengan alasan lebih aman, padahal rokok elektrik mengandung zat-zat kimia berbahaya yang sama banyaknya dengan rokok tembakau dan berpotensi menyebabkan penyakit kronis.

Kejar-kejaran dengan Ferry Cepat, Bea Cukai Gagalkan Penyelundupan Sejuta Batang Rokok Ilegal

“Iklan rokok yang kreatif dan menampilkan tema keberanian atau petualangan justru membuat anak muda semakin ingin mencoba merokok. Para influencer yang permisif terhadap rokok berpotensi menanamkan kesadaran di benak para followersnya bahwa rokok itu produk yang baik dan normal,” kata Lisda.

Selain mendesak pemerintah untuk melindungi anak muda dari target pemasaran rokok dengan membuat regulasi yang lebih kuat, ia juga mengajak seluruh elemen masyarakat aktif mengedukasi anak muda tentang pentingnya memahami siasat manipulasi industri rokok dalam berbagai bentuk strategi pemasarannya. 

"Saya mengajak anak muda tetap kritis, berpikir jernih, dan tidak silau dengan berbagai jebakan industri rokok, serta berani menyuarakan penolakan terhadap manipulasi industri rokok dalam berbagai bentuknya,” pungkas Lisda.

Berdasarkan Riset Kesehatan Dasar Nasional, pada 2018, jumlah perokok anak usia 10-18 tahun meningkat mencapai 9,1 persen atau sama dengan 7,8 juta anak. Padahal RPJMN (Rancangan Pembangunan Jangka Menengah Nasional) menargetkan pada tahun 2019 prevalensi perokok anak harus turun menjadi 5,4 persen.

Di sisi lain prevalensi perokok elektrik penduduk usia 10-18 tahun mengalami kenaikan pesat. Dari 1,2 persen pada 2016 (Sirkesnas 2016) menjadi 10,9 persen pada 2018 (Data Riset Kesehatan Dasar/Riskesdas 2018).

Halaman Selanjutnya
Halaman Selanjutnya