Benarkah Diet Vegan Tak Selalu Sehat untuk Lingkungan?
- bbc
Diet vegan digadang-gadang sebagai gaya hidup yang lebih baik untuk planet kita dibanding produk hewani. Ternyata tidak selalu demikian.
Sesendok mentega almond, avokad, beberapa potong mangga, segenggam blueberry, taburan bubuk kakao dan mungkin sedikit susu kedelai: menjadi segelas smoothie lezat. Minuman vegan itu memang sarapan lezat, penuh nutrisi dan baik untuk kesehatan Anda. Tapi, mungkin tidak baik untuk planet ini.
Tidak ada keraguan bahwa daging, khususnya daging sapi, memberikan kontribusi yang tak tertandingi terhadap emisi gas rumah kaca di planet ini.
Industri daging sapi juga menggunakan banyak tanah dan air dan menyebabkan lebih banyak kerusakan lingkungan daripada produk makanan tunggal lainnya.
Laporan menyeluruh baru-baru ini oleh Komisi EAT-Lancet merekomendasikan bahwa mengurangi konsumsi produk hewani tidak hanya bermanfaat bagi kesehatan manusia, tetapi juga kesehatan planet kita.
Bahkan sumber daging yang `paling hijau` pun masih menghasilkan lebih banyak gas rumah kaca daripada protein nabati.
Tetapi siapa pun yang ingin menerapkan pola makan vegan atau vegetarian karena alasan lingkungan mungkin juga ingin mempertimbangkan bahwa ada beberapa makanan nabati yang harganya mahal untuk lingkungan.
"Tidak ada yang benar-benar sebanding dengan daging sapi, domba, babi, dan susu. Produk-produk ini ada di levelnya sendiri kalau kita bicara tingkat kerusakannya terhadap lingkungan, dan biasanya ada pada hampir setiap masalah lingkungan yang kami lacak," kata Joseph Poore, seorang peneliti di Universitas Oxford yang mempelajari dampak lingkungan dari makanan.
"Tetapi penting untuk berhati-hati dalam semua yang kita konsumsi: buah dan sayuran yang diangkut melalui udara dapat menciptakan lebih banyak emisi gas rumah kaca per kilogram daripada daging unggas, misalnya."
Buah-buahan yang lembut seperti blueberry dan stroberi, misalnya, sering diimpor ke Eropa dan AS dengan pesawat untuk mengisi celah ketika buah lokal tidak musim.
Penelitian oleh Angelina Frankowska, yang mempelajari keberlanjutan di Universitas Manchester, baru-baru ini menemukan bahwa asparagus yang dimakan di Inggris memiliki jejak karbon tertinggi dibandingkan dengan sayuran lain yang dimakan di negara itu.
Ada 5,3 kg karbon dioksida yang diproduksi untuk setiap kilogram asparagus, terutama karena sebagian besar diimpor melalui udara dari Peru.
Angelina dan rekan-rekannya menemukan bahwa asparagus segar memiliki jejak lingkungan terbesar dari 56 sayuran yang mereka teliti, termasuk penggunaan lahan dan penggunaan airnya yang tiga kali lebih besar dari sayur di peringkat dua.
Tanpa mempertimbangkan dengan hati-hati dari mana makanan kita berasal dan bagaimana makanan itu ditanam, diet kita bisa menimbulkan konsekuensi yang tidak diinginkan.
Ada contoh aneh dari dua orang vegan dalam sebuah penelitian Italia. Keduanya menimbulkan dampak lingkungan yang jauh lebih tinggi daripada banyak pemakan daging. Ketika digali sedikit lebih jauh, peneliti menemukan bahwa pasangan itu hanya makan buah saja.
"Mereka memakan buah dalam jumlah besar," kata Francesca Scazzina, seorang ahli nutrisi di Universitas Parma, Italia. "Saya ingat jumlahnya 7-8 kilogram buah per hari. Kami mengumpulkan data mereka di musim panas, saat mereka banyak makan semangka dan melon."
Air dan tanah yang digunakan dan jejak karbon yang dihasilkan dari menanam dan mengangkut buah mudah rusak yang begitu besar, berarti dampak lingkungan yang jauh lebih besar dari perkiraan.
Meski demikian setelah data dari 153 vegan, vegetarian dan omnivora dalam studi itu dihitung, pemakan daging secara rata-rata berdampak lebih buruk bagi lingkungan.
Buah memang sehat, tapi perhatikan juga biaya karbonnya. - Getty Images
Tetapi ada beberapa hal yang perlu dipertimbangkan ketika kita memikirkan tentang tanaman pangan yang dapat meningkatkan dampak lingkungan.
Pupuk buatan, misalnya, menyumbang setidaknya 3?ri emisi gas rumah kaca global, menurut industri. Produksi pupuk sintetis menghasilkan karbon dioksida (CO2) dan metana ke atmosfer, sementara penggunaan pupuk di lahan pertanian menghasilkan dinitrogen oksida, gas rumah kaca lainnya.
Praktik pertanian seperti mengolah ladang juga melepaskan gas rumah kaca dalam jumlah besar ke atmosfer, dan membantu mempercepat erosi.
Gabungan unsur-unsur ini berbeda tergantung tanaman yang ditanam. Tapi jelas ada beberapa makanan nabati yang berdampak tidak proporsional terhadap lingkungan. Berikut ini beberapa pelanggar terburuk menurut BBC Future:
Alpukat
Daging hijau yang kaya buah ini dihaluskan, dicampur dan dipotong-potong di kafe-kafe hipster, restoran-restoran, dan dapur-dapur rumah di seluruh dunia.
Avokad bisa jadi sumber penting untuk mendapatkan protein, vitamin, dan asam lemak untuk orang yang tidak makan daging.
Tetapi avokad juga perlu banyak air. Satu pohon dewasa di California, misalnya, membutuhkan hingga 209 liter setiap hari di musim panas. Air sebanyak ini bisa untuk mengisi bak mandi besar.
Jumlah ini jadi nampak sangat banyak pada bulan-bulan musim panas yang kering di daerah yang airnya terbatas seperti California, Chili, Meksiko dan Spanyol selatan. Di kawasan itu, banyaknya tanaman avokad yang ditanam memberi tekanan besar pada lingkungan setempat.
Diadaptasi dari iklim hutan hujan yang panas dan lembab, akarnya relatif dangkal dan sulit mencari air yang tertahan di dalam tanah. Ini berarti harus terus diairi ketika jarang hujan.
Untuk menumbuhkan satu buah avokad, diperkirakan dibutuhkan sekitar 140 liter-272 liter air, atau sekitar 834 liter per kilogram buah.
Di beberapa daerah, seperti Peru dan Chili, meningkatnya permintaan avokad menyebabkan pengambilan air sungai secara ilegal, yang dituding meningkatkan krisis air.
Avokad bukan satu-satunya buah yang menggunakan air dalam jumlah ekstrem. Buah lain seperti mangga dan plum juga menyedot air dalam jumlah besar. Satu kilogram mangga membutuhkan 686 liter air, sementara plum butuh 305 liter air.
Tapi masih ada harapan. Seorang petani di California mengklaim telah mengurangi 75% air yang digunakannya berkat sensor kelembaban tanah nirkabel yang memantau tanah di sekitar pohon-pohonnya. Alat ini memastikan air hanya dikirim saat dibutuhkan, dan hanya ke tempat yang membutuhkan.
Namun, setelah panen, avokad dan mangga dimandikan dalam air panas selama lebih dari satu jam untuk mencegah serangan serangga dan mengendalikan pembusukan. Dagingnya yang sangat halus dan pematangan yang cepat juga berarti bahwa banyak buah yang diimpor ke Eropa dan AS diimpor melalui udara.
- Getty Images
Dengan menghitung jumlah limbah, kondisi penyimpanan khusus, dan pengemasan yang diperlukan untuk avokad, jejak karbonnya cukup tinggi. Jejak karbonnya setara dengan 2,2 kg CO2/kg untuk avokad yang diimpor ke Inggris menurut sebuah penelitian. Diperkirakan mangga juga mengeluarkan 4.4 kg CO2/kg.
Para peneliti di Pusat Sistem Berkelanjutan Universitas Michigan mengumpulkan data dari seluruh dunia dan mempertimbangkan aspek-aspek makanan lain seperti kemasan dan jumlah limbah yang dihasilkan selama produksi dan transportasi. Analisis rinci mereka menempatkan jejak karbon global avokad 0,55kg CO2/kg sedangkan mangga hanya 0,6kg CO2/kg.
Angka-angka ini mungkin lebih rendah karena tidak semua negara harus mengangkut buahnya melalui udara untuk makan buah segar.
Jamur
Dari kamar-kamar gelap yang dipenuhi tumpukan kuncup jamur, muncullah makanan utama diet vegan. Jamur adalah sumber nutrisi yang kaya dan dianggap sebagai pengganti daging.
Dan dari sudut pandang perubahan iklim, jamur adalah pengganti daging yang ideal, dan hanya menghasilkan sebagian kecil dari emisi daging sapi.
Tetapi untuk tanaman yang berkembang tanpa cahaya dengan memakan sampah organik yang membusuk, dampaknya ternyata mengejutkan.
Sebuah penelitian yang didanai oleh Departemen Pertanian AS, menunjukkan bahwa produksi satu kilogram Agaricus bisporus (jamur kancing dan jamur portobello pada umumnya yang kita beli di toko) mengeluarkan 2,13-2,95 kilogram CO2, sementara Dewan Jamur AS mengatakan satu kilogram jamur menghasilkan kurang dari 0,7 kg CO2.
Sebagian besar emisi berasal dari energi yang dibutuhkan untuk menjaga ruangan tempat jamur dibudidayakan hangat. Ruang tumbuh dan kompos perlu mencapai suhu hingga 62 derajat celsius, tergantung pada sistem yang digunakan, agar jamur tumbuh.
Tetapi karbon dioksida juga diproduksi oleh jamur itu sendiri saat mereka bernafas dan tumbuh. Banyak jamur disimpan di dalam ruangan tertutup di mana konsentrasi karbon dioksida dikontrol dengan cermat.
Jamur yang berbeda akan tumbuh dengan ukuran dan bentuk yang berbeda tergantung pada konsentrasi CO2 dan kadang-kadang varietas yang berbeda dapat membutuhkan kadar CO2 yang hingga 48 kali lebih tinggi daripada udara luar. Terkadang, CO2 yang berlebihan sering ditukar dengan udara segar.
Analisis oleh Universitas Michigan menemukan bahwa jamur budidaya menghasilkan rata-rata 3 kilogram CO2/kilogram. Masih jauh lebih sedikit dari daging sapi, dan lebih sedikit dari daging ayam yang menghasilkan 4,1 kilogram CO2/kilogram menurut perhitungan mereka.
Tapi jumlahnya sama dengan ikan air asin dan lebih dari tuna, yang masing-masing melepaskan 3 kilogram CO2/kilogram dan 2,2 kilogram CO2/kilogram. Tentu saja, memancing memiliki masalah lingkungan dan keanekaragaman hayatinya sendiri.
Satu pertimbangan lebih lanjut adalah penggunaan tanah gambut di banyak kompos yang dimanfaatkan oleh industri jamur. Jika tidak melalui proses ekstraksi yang berkelanjutan, cara ini dapat merusak ekosistem rawa yang rentan dan menghancurkan kemampuannya untuk menyimpan karbon di masa depan.
Tetapi ada harapan bahwa dengan menggunakan lebih banyak limbah makanan dan pertanian untuk membuat substrat kompos yang berkelanjutan agar jamur dapat tumbuh, menggunakan bahan yang tersisa setelah panen untuk membuat kemasan yang dapat terurai secara alami, dan menyalurkan karbon dioksida ke dalam rumah kaca untuk menanam bahan makanan, maka industri jamur bisa benar-benar ramah lingkungan.
Mikoprotein
Pengganti daging populer lainnya yang tumbuh dari jamur, mikoprotein, memiliki beberapa dampak lingkungan yang mengejutkan.
Proses pembuatannya memang memerlukan lebih sedikit lahan dibandingkan dengan memelihara ayam, babi atau sapi, tetapi jejak karbonnya dalam satu penelitian diperkirakan antara 5,55-6,15 kilogram CO2/kilogram.
Lebih dari setengahnya berasal dari pemrosesan setelah jamur menghasilkan protein - beberapa produk vegetarian mikoprotein, seperti "daging" cincang, dikombinasikan dengan putih telur untuk pengikatnya. Pupuk juga diperlukan untuk menumbuhkan gula yang dikonsumis jamur, yang menyumbang 11?ri total emisi.
Beberapa perusahaan sekarang mengeksplorasi apakah jamur mikoprotein dapat tumbuh pada limbah makanan pertanian sebagai pengganti gula, yang dapat mengurangi separuh jumlah karbon yang dikeluarkan oleh proses tersebut.
Quorn, salah satu produsen mikoprotein terkemuka, baru-baru ini merilis rincian detail emisi dari berbagai produk-produknya. Proses pembuatan mycoprotein sendiri hanya melepaskan emisi 0,8 kilogram CO2/kilogram.
Namun untuk menghasilkan irisan "daging ayam" vegan, misalnya, melepaskan 3,1 kilogram CO2/kilogram, sebagian besar dari energi yang dibutuhkan untuk memproses produk.
Perusahaan mengatakan mereka berharap dengan adanya informasi itu dapat membantu pelanggannya membuat keputusan berdasarkan informasi tentang apa dampak makanan yang mereka makan terhadap lingkungan, dan telah meminta merek lain untuk mengikuti contohnya.
Biji cokelat
Cokelat mungkin telah memiliki reputasi sebagai makanan sehat dalam beberapa tahun terakhir, tetapi kakao dan produk kakao mentah memiliki sisi gelap ketika dihubungkan dengan lingkungan.
"Kakao merupakan salah satu pendorong utama deforestasi hutan tropis dan juga kontributor terbesar hilangnya keanekaragaman hayati global setelah daging sapi, babi, dan daging unggas," kata Poore.
Angka pasti untuk berapa banyak hutan yang hilang karena produksi kakao sulit dijabarkan, tetapi diperkirakan 2-3 juta hektare hutan tropis hilang karena perkebunan kakao antara tahun 1988 dan 2008.
Selain itu juga ditemukan bahwa di Afrika Barat saja ada 2,1 juta hektare hutan yang ditebang untuk penanaman pohon kakao antara tahun 1998 dan 2007. Seiring dengan permintaan yang meningkat, demikian pula jumlah lahan yang dibuka untuk digunakan oleh perkebunan kakao.
Pohon kakao seringkali ditanam dengan menebangi hutan. - Getty Images
Tetapi perkebunan untuk bahan makanan hanya menyumbang sebagian kecil dari area hutan yang ditebang secara global setiap tahun, dibandingkan industri minyak kelapa sawit dan kedelai jauh yang lebih banyak mengorbankan hutan.
Yang paling mengkhawatirkan para konservasionis adalah lokasi di mana deforestasi terjadi untuk kakao, terutama di pusat keanekaragaman hayati yang sensitif di hutan hujan Amazon, Afrika Barat, dan Asia Tenggara.
Lalu juga ada masalah jejak karbon kakao dan produk terkaitnya. Analisis Universitas Michigan menemukan bahwa 1 kilogram cokelat menghasilkan rata-rata emosi setara dengan 11,2 kilogram CO2. Adapun, 1 kilogram bubuk kakao akan melepaskan 33,6 kilogram CO2 emisi.
Tapi Poore mengatakan bahwa jumlah gas rumah kaca yang dilepaskan oleh produk seperti cokelat bisa sangat bervariasi.
Penelitian detailnya telah menunjukkan bahwa satu batang kecil cokelat hitam dapat menghasilkan hingga 7 kilogram emisi CO2 dalam kasus-kasus ekstrem. Itu setara dengan mengemudi sekitar 27 kilometer dengan mobil produksi Amerika.
Itu artinya lebih dari 250 kilogram CO2 untuk setiap kilogram cokelat hitam. Tetapi dia dan rekan-rekannya juga menemukan beberapa cokelat hitam sebenarnya dapat memiliki efek positif pada iklim karena pohon-pohonnya mengeluarkan karbon dari atmosfer. Alasan utama untuk perbedaan emisi ini berasal dari apakah ada hutan hujan yang ditebang untuk dijadikan kebun kakao.
Hutan hujan tropis adalah salah satu penyerap karbon terpenting di dunia, mengeluarkan karbon dioksida dari atmosfer seiring mereka tumbuh.
"Dua produk yang terlihat persis sama di toko-toko dapat memiliki dampak yang sangat berbeda terhadap lingkungan dan saat ini kita tidak memiliki cara untuk membedakan mereka," kata Poore.
Dia percaya informasi yang lebih baik pada kemasan produk dapat membantu konsumen, vegan atau bukan, untuk menjaga jejak karbon mereka serendah mungkin dengan memilih makanan yang tepat.
Kacang almond dan kacang mete
Tanaman kacang-kacangan pada umumnya mungkin merupakan anti-pahlawan diet vegan. Mereka penuh dengan nutrisi dan protein yang berharga, namun mereka diperkirakan juga banyak merusak sumber daya lingkungan.
Kacang mete, almond, dan kenari adalah beberapa tanaman yang memerlukan air berskala paling besar yang ditanam di planet ini. Poore memperkirakan bahwa di ketika jenis kacang-kacangan ini mengkonsumsi 4.134 liter (909 galon) air segar untuk setiap kilogram kacang tanah yang kita beli.
Almond, katanya, membutuhkan air, pestisida, dan pupuk dalam jumlah yang relatif besar, yang membuat dampak lingkungannya besar secara tidak proporsional. Satu studi, yang didanai oleh Almond Board of California, menemukan bahwa rata-rata almond yang ditanam di negara bagian AS membutuhkan 12 liter air per kilogram bijinya.
Namun, para peneliti di balik studi ini juga membandingkan jumlah air yang dibutuhkan dengan nilai gizi makanan yang lain. Ketika ditinjau dari sisi ini, almond terlihat lebih bagus dibandingkan dengan tanaman rakus air lainnya dengan nilai gizi lebih rendah, seperti beras, zaitun dan gandum.
"Almond memiliki jejak air yang tinggi selain disebabkan karena mereka adalah tanaman rakus air dan juga memerlukan input pupuk yang tinggi, juga karena mereka adalah produk padat," kata Julian Fulton, seorang ilmuwan lingkungan di California State University, Sacramento, yang memimpin penelitian ini.
"Hanya sebagian kecil dari buah almond yang bisa dipanen dan dikeringkan, sehingga jadi semua air itu digunakan untuk menghasilkan produk yang lebih padat."
"Bagi konsumen yang ingin mendapatkan `ledakan` nutrisi paling banyak untuk `pengeluaran` air mereka, almond akhirnya terlihat cukup bagus terutama untuk sumber nutrisi seperti protein dan kalsium."
Terkait emisi karbonnya, ada beragam kesimpulan. Studi Universitas Michigan memperkirakan almond menghasilkan sekitar 2,3 kilogram CO2 / kilogram kacang. Emisi tersebut dapat meningkat tergantung pada produk yang dibeli.
Sebuah studi oleh para peneliti Italia memperkirakan bahwa membeli almond dalam kantong 100 gram menghasilkan 2,61 kilogram CO2 / kilogram, sedangkan toples pasta almond mengeluarkan 2,89-3,07 kilogram CO2 / kilogram.
Namun dari semua kacang-kacangan, University of Michigan memperkirakan bahwa kacang mete lah yang melepaskan paling banyak karbon. - Getty Images
Namun dari semua kacang-kacangan, University of Michigan memperkirakan bahwa kacang mete lah yang melepaskan paling banyak karbon - perhitungannya adalah 4.99 kilogram CO2 / kilogram.
Ini mungkin karena mereka adalah tanaman rendah hasil. Kacang mete yang baru dipanen juga terbungkus lapisan cangkang keras, yang mengandung minyak kaustik yang dapat membakar kulit orang yang memegangnya. Selama pemrosesan, minyak ini sering diekstraksi tetapi perlu penanganan yang hati-hati untuk memastikannya tidak merusak lingkungan.
Yang jelas adalah bahwa sementara makanan nabati dan pengganti daging bisa jauh lebih baik bagi lingkungan daripada makan hasil produksi peternakan secara keseluruhan, jika kita memang benar-benar ingin membuat perbedaan untuk lingkungan, kita perlu berhati-hati pada apa yang kita pilih untuk menggantikan daging.
Loyal pada buah dan sayuran yang diproduksi secara lokal yang sedang musim adalah pendekatan terbaik, kata Scazzina.
"Rekomendasi umum saya pada akhirnya adalah, mengurangi konsumsi daging, dan perhatikan, sebisanya, bagaimana makanan ditanam dan didistribusikan," tambah Martin Heller, seorang peneliti keberlanjutan yang memimpin studi University of Michigan.
"Cobalah menghindari buah dan sayuran yang ditanam dengan efek rumah kaca, dan bahan-bahan yang mungkin telah diangkut dengan pesawat."
Tidak ada salahnya juga mengurangi porsi makan, terutama jika yang Anda makan adalah semangka.
Â