Bukan Virus Corona, 11 Orang Meninggal Per Jam karena Penyakit Ini

Ilustrasi batuk/TBC/virus corona/COVID-19.
Sumber :
  • Freepik/drobotdean

VIVA – Virus corona atau COVID-19 sedang menjadi pembicaraan di seluruh dunia saat ini. Jumlah korban yang terus meningkat setiap harinya, ditambah penularannya yang sangat mudah, membuat semua orang khawatir dan kelimpungan menghadapi virus yang berasal dari China itu. Seolah di dunia ini hanya ada satu penyakit, yaitu COVID-19. 

Bertemu Prabowo, GAVI Janji akan Perkuat Kerja Vaksin dengan Indonesia

Padahal, ada penyakit lain yang tak kalah berbahaya karena telah menyebabkan kematian hingga 11 orang setiap jam. Menurut Ketua Tim Penanganan COVID-19 & Juru Bicara RS Persahabatan untuk COVID-19, dr. Erlina Burhan,Sp.P(K), penyakit yang dimaksud adalah tuberkulosis (TBC).

Melalui saluran podcast miliknya, Deddy Corbuzier mempertanyakan jumlah kematian yang sedemikan banyak. Apakah karena penyakit tersebut tidak tertanggulangi? Menurut Erlina, banyak orang yang tidak terlalu memperdulikan penyakit ini. 

Prabowo Sebut Indonesia Bakal Jadi Anggota GAVI, Kucurkan Dana Rp 475 Miliar Lebih

"Saya mengerti mengapa orang tidak terlalu peduli, karena kalau tuberkulosis matinya lama. Lalau ini (virus corona) matinya cepat, orang kaget," ujarnya di YouTube Deddy Corbuzier, dikutip VIVA, Jumat, 17 April 2020.

Jika satu 1 ada 11 orang meninggal, maka dalam setahun ada 93 ribu kematian akibat tuberkulosis. Lalu, apakah tidak ada obat untuk penyakit ini?

PM Singapura Positif Covid-19 Setelah Kunker ke Beberapa Negara

"Ada, obatnya ada, efektif dan kalau di Puskesmas atau rumah sakit pemerintah itu gratis, lho. Cuma makan obatnya 6 bulan, makan obatnya bosan," lanjut dia. 

Selain abai, kebanyakan orang yang menderita TBC sudah merasa sembuh. Sehingga obat yang diresepkan yang seharusnya dikonsumsi selama 6 bulan, pada dua bulan pertama, saat pasien merasa dirinya sudah sembuh, dia memutuskan untuk menghentikan pengobatan. 

"Kebanyakan orang merasa sembuh, karena emang makan obat 2 bulan kuman-kuman yang tadinya jumlahnya banyak, drastis turun. Sehingga pasien tidak merasakan sakit, malah merasa segar, mau makan lagi, berat badan naik, enggak ada masalah lah,” ucap Erlina.

“Padahal kan sebetulnya kumannya masih ada sebagian. Kalau obatnya berhenti, si kuman berkembang biak lagi. Bahkan sebagian bermutasi menjadi kuman yang resisten," tutur Erlina. 

Halaman Selanjutnya
Halaman Selanjutnya