Jomblo atau Dimadu di Tengah Pusaran Poligami
- dw
Soal kenyamanan melajang ternyata berkaitan pada kebahagiaan para jomblo yang dibuktikan secara statistik. Badan Pusat Statistik tahun 2017 mencatat Indeks Kebahagian kaum jomblo mencapai angka 71,53. Lebih tinggi dibandingkan mereka yang punya pasangan dalam ikatan pernikahan yang cuma 71,09. Karena itu BPS memprediksi pada tahun 2020 akan terjadi peningkatan perempuan yang tidak menikah.
Tampaknya prediksi BPS ini bertentangan dengan hasil penelitian Karel Karsten Himawan dari Universitas Queensland di Australia yang menunjukkan niat menikah dari para lajang di Indonesia rupa-rupanya mencapai lebih dari 80% sehingga disimpulkan pilihan mereka yang melajang sesungguhnya adalah melajang tanpa kerelaan. Hasil penelitian itu dimuat dalam Jurnal Psikologi Eropa tahun 2018 silam juga menyebutkan keinginan untuk menikah disebabkan karena tiga alasan yaitu guna memenuhi kebutuhan emosional dan berbagi beban hidup, untuk memiliki keturunan dan yang terakhir karena alasan spiritual yakni memenuhi kehendak agama. Alasan agama rupanya muncul juga.
Jadi alasan Poligami?
Alasan berumah tangga demi memenuhi kehendak agama inilah yang membuat poligami mendapat pembenaran. Tak sedikit perempuan yang akhirnya memilih dipoligami beralasan karena usia yang sudah mepet, hampir kepala empat. Alasan lain adalah jodoh tak kunjung datang, tapi malah bertemu dengan pria beristri sehingga menikah sebagai salah satu istri yang dibolehkan oleh agama menjadi opsi terakhir.
Memilih melajang atau ingin menikah, apapun itu idealnya pilihan-pilihan yang Anda buat itu karena keinginan Anda sendiri bukan berdasarkan tekanan keluarga atau sosial. Jika sampai melepas masa lajang dengan menjadi istri kedua, ketiga atau keempat, bukankah hal ini akan makin menyuburkan poligami di Indonesia.
Tentu saya tidak berhak menganjurkan Anda untuk, "Tetaplah melajang, bertahan dalam kejombloan atau berkata mending jadi perawan tua sekalipun daripada ikut-ikutan tren poligami.” Namun saya yakin Anda lebih berbahagia tanpa perlu menjadi istri kedua atau ketiga.
Seorang kenalan saya, seorang perempuan aktivis toleransi menulis di status Facebooknya, "Orang-orang yang melecehkan lajang adalah pribadi-pribadi kerdil yang merasa tidak aman dan membutuhkan semua upaya yang mereka tahu untuk menjadi lebih kuat, karena mereka pikir cara terbaik hidup di dunia adalah dengan menikah.” Saya setuju dengan pendapatnya. Cara terbaik hidup di dunia bukan hanya dengan menikah. Bahkan di Kitab Suci pun ditulis ada orang-orang yang memang tidak menikah dengan tujuan pelayanan kepada Tuhan seperti para biarawan dan biarawati Katolik. Dengan demikian, tidak menikah bukan aib. Tidak menikah bukan kelemahan.