Jomblo atau Dimadu di Tengah Pusaran Poligami
- dw
Berdasarkan buku "Profil Generasi Milenial 2018” terbitan Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Anak tercatat lebih dari setengah generasi milenial berstatus menikah, kira-kira jika dibandingkan dari 10 orang generasi milenial maka ada enam orang menikah dan empat orang melajang.
Secara rentang usia generasi milenial, saat ini mereka berada dalam rentang usia produktif dan usia puncak reproduksi.
Namun berdasarkan survei menunjukkan mereka yang melajang, terutama perempuan tidak mempertimbangkan faktor usia puncak reproduksi tersebut karena fokus pada pendidikan tinggi.
Hal ini membuktikan menikah bukan lagi sebuah ultimatum keluarga, kewajiban moral dan kebutuhan akan penerimaan sosial, tetapi menjadi sebuah pilihan yang sangat bersifat individual. Setiap individu memiliki alasan pribadi mengenai pernikahan dan keputusan memilih pasangan.
Pentingnya kesadaran gender
Secara sosial, seorang perempuan yang memutuskan tidak menikah tak lagi dilabeli dengan sebutan "perawan tua” atau seorang pria yang melajang tak perlu galau dituding "penyuka sesama jenis” sebab melajang adalah pilihan rasional setiap pribadi. Berdasarkan riset Pew Research Center, kesadaran akan gender menyebabkan seseorang lebih dihargai dalam mencapai tujuan hidup sehingga jika ia menunda usia pernikahan atau memutuskan tidak menikah sama sekali, masyarakat kini makin maklum alih-alih mencibir.
Masih mengacu pada riset Pew Research Center, penerimaan dalam masyarakat bukan hanya semakin besar, tapi juga perasaan nyaman untuk hidup sendiri ternyata turut dirasakan oleh generasi milenial yang memilih melajang.