Waspadai Rapid Test COVID-19 Berbasis Serologi
- Freepik/freepik
VIVA – Organisasi Kesehatan Dunia atau WHO menetapkan virus corona atau COVID-19, sebagai pandemi pada 11 Maret 2020. Deteksi virus SARS-CoV-2 sebagai penyebab COVID-19 yang direkomendasikan adalah real-time Polymerase Chain Reaction atau PCR, dilanjutkan sequencing untuk mengonfirmasi diagnosis infeksi COVID-19.
Urutan tingkat kepercayaan (Confidence Level) untuk deteksi berbagai patogen dari yang tertinggi, yaitu kultur, molekular (DNA atau RNA), antigen, dan yang terendah yaitu antibodi (IgM/IgG/IgA anti pathogen tersebut).
Lewat rilis yang diterima VIVA, udari Perhimpunan Dokter Spesialis Patologi Klinik dan Kedokteran Laboratorium Indonesia dijelaskan bahwa untuk SARS-CoV-2 tentu confidence level tertinggi saat ini adalah pemeriksaan molekular (yaitu real-time Polymerase Chain Reaction/PCR, dilanjutkan sequencing yang telah dilakukan di Balitbangkes Jakarta), disebabkan karena kultur virus SARS-CoV-2 saat ini belum dapat dilakukan.
Mempertimbangkan bahwa saat ini mulai merebak berbagai rapid test IgM/IgG SARS-CoV-2 untuk deteksi COVID-19 dengan berbagai merek, maka Perhimpunan Dokter Spesialis Patologi Klinik dan Kedokteran Laboratorium Indonesia (PDS PatKLIn), menyarankan untuk mempertimbangkan beberapa hal sebagai berikut:
1. Deteksi antibodi terhadap SARS-CoV-2 dengan metode imunokromatografi (rapid test) belum ada penjelasan kinetika antibodinya. Antibodi baru terbentuk beberapa waktu setelah masuknya virus ke dalam tubuh, yang tentunya membutuhkan waktu. Namun, waktu terbentuknya antibodi belum disebutkan secara jelas pada beberapa referensi.
Terdapat satu publikasi sementara ini yang menyatakan antibodi baru mulai terdeteksi dengan metode imunofluoresensi paling dini, hari ke-6. Namun, sebagian besar antara hari ke 8 – 12 sejak timbulnya gejala.
2. Antibodi terhadap SARS-CoV-2 belum terbukti dapat menentukan infeksi akut saat ini, sehingga belum direkomendasikan untuk diagnostik. Sebagai contoh, seperti halnya infeksi dengue.
Dikatakan sebagai infeksi akut apabila terjadi peningkatan titer 4x dengan metode Hemaagglutination Inhibition pada serum akut dan konvalesen, atau pada antibodi Treponemal pallidum (sifilis) yang hanya dapat menunjukkan paparan sehingga tidak bisa menentukan infeksi akut atau lampau. Sementara IgG anti Rubella bersifat protektif, sehingga masih perlu pendalaman kinetika antibodi terhadap SARS-CoV-2 lebih lanjut.
3. Berbagai rapid test tersebut belum diketahui validitasnya, antigen dan prinsip pemeriksaan yang digunakan, variasi waktu pengambilan spesimen, limit deteksi masing-masing rapid test, interferens, berbagai kondisi yang dapat menyebabkan hasil false positive dan false negative, serta belum diketahui adanya izin edar resmi.
Skrining atau deteksi dini, harus diinterpretasi dengan sangat hati-hati, karena hasil positif tidak bisa memastikan bahwa betul terinfeksi COVID-19 saat ini. Sebaliknya, hasil negatif pun tidak bisa menyingkirkan adanya infeksi COVID-19, sehingga tetap berpotensi menularkan pada orang lain.
False positive dan false negative perlu dipertimbangkan untuk deteksi antibodi karena validitas yang belum diketahui (sensitivitas dan spesifisitas diagnostik yang bervariasi) sehingga menyulitkan interpretasi. Berbagai hal yang dapat menyebabkan hasil false positive yaitu, kemungkinan cross reactive antibodi dengan berbagai virus lain (coronavirus, dengue virus) dan infeksi lampau dengan virus corona.
Sedangkan, beberapa hal yang dapat menyebabkan hasil false negative, antara lain belum terbentuk antibodi saat pengambilan sampel (masa inkubasi) dan pasien immunocompromised (gangguan pembentukan antibodi).
Berdasarkan hal tersebut di atas, apabila menemukan hasil ICT (rapid test) positif, maka harus dikonfirmasi dengan pemeriksaan PCR. Jika negatif, harus dilakukan pengambilan sampel ulang 7 – 10 hari kemudian.
Namun, pemeriksaan antibodi anti SARS-CoV-2 masih dapat dipertimbangkan untuk menunjukkan paparan infeksi, sehingga dapat digunakan untuk surveilans atau studi epidemiologi dan penelitian lebih lanjut.