Mirip Pandemi 1918, COVID-19 Disebut Bisa Sembuh dengan Sinar Matahari
- reporter
VIVA – Virus corona atau COVID-19 kini menjadi subjek percakapan di seluruh dunia. Dan orang-orang terus mencari informasi yang dapat membantu mereka untuk mencegah penyebarannya.
Bulan lalu, Presiden Donald Trump meyakinkan publik bahwa virus corona akan hilang pada bulan April 2020, karena suhu yang lebih hangat akan tiba. Namun, beberapa ahli kesehatan meragukannya, para ahli menganggap virus belum pasti akan berhenti menginfeksi meski di musim panas.
Tidak ada bukti bahwa paparan sinar matahari dapat membunuh COVID-19, tetapi banyak bukti yang menunjukkan bahwa virus, termasuk virus corona manusia, tidak menyukai panas.
Richard Hobday, seorang peneliti independen di bidang pengendalian infeksi kesehatan masyarakat dan desain bangunan, juga percaya bahwa sinar matahari mungkin bisa membantu. Klaimnya didasarkan pada pandemi terbesar dalam sejarah, yang memengaruhi sekitar sepertiga populasi dunia, yang pernah terjadi pada tahun 1918, yang lalu.
Saat itu, terjadi infeksi saluran pernapasan akut yang dikenal sebagai flu Spanyol, seperti yang pertama kali dilaporkan surat kabar Spanyol. Pakar medis menjelaskan mengapa virus tersebut kurang aktif dan kecil kemungkinannya menyebar selama musim panas. Dia berpendapat bahwa sinar matahari, udara segar, dan masker wajah yang diimprovisasi, mungkin sangat membantu, seperti yang terjadi seabad yang lalu.
Pada saat itu, ketika influenza menyebar ke seluruh dunia, pemerintah memberlakukan isolasi, karantina, dan tidak mengajurkan pertemuan publik. Namun, pengalaman menunjukkan bahwa pasien yang dirawat di luar ruangan, lebih cepat pulih dibanding pasien yang dirawat di dalam ruangan.
Dia menulis bahwa kematian di antara pasien dan infeksi di antara staf medis dapat dicegah dengan kombinasi udara segar dan sinar matahari, dan itu terbukti secara ilmiah.
"Udara luar bertindak sebagai disinfektan alami, yang dapat membunuh flu dan kuman berbahaya lainnya. Sementara sinar matahari adalah pembunuh kuman dan virus flu," kata dia, dilansir Healthy Food House.
Tempat terburuk selama pandemi yang terjadi pada 1918 adalah barak militer dan kapal prajurit, sehingga tentara dan pelaut berisiko tinggi terhadap influenza dan infeksi lain yang mengikutinya. Juga, pemulangan pasukan mungkin menjadi alasan utama penyebaran flu.
Sama seperti dalam kasus COVID-19, sebagian besar pasien meninggal karena pneumonia dan komplikasi lainnya. Di rumah sakit darurat di kota Boston, Amerika Serikat, ketika itu, petugas medis rumah sakit menyadari bahwa pelaut yang menderita sakit paling parah berada di ruang berventilasi buruk. Jadi, dia memutuskan untuk menempatkan mereka di tenda di luar ruangan. Jadi, ketika cuaca cerah, mereka akan terpapar sinar matahari di luar tenda.
Pada saat itu, terapi udara terbuka banyak digunakan pada korban dari Front Barat, serta pasien tuberkulosis. Terapi di tempat terbuka menjadi populer sebagai pengganti antibiotik pada tahun 1950-an. Menurut satu laporan, terapi ini mengurangi kematian dari 40 persen menjadi 14 persen di rumah sakit di Boston.
Pertama-tama, Hobday menjelaskan, ketika berada di luar ruangan, pasien kurang rentan terhadap kuman yang ada di bangsal rumah sakit, karena udara bersih menciptakan lingkungan yang sebagian besar steril.
Pada 1960-an, para ilmuwan Kementerian Pertahanan membuktikan bahwa udara segar merupakan disinfektan alami. Mereka menemukan sesuatu di dalamnya, bernama Faktor Udara Terbuka, membunuh bakteri di udara dan flu lebih efisien daripada udara di dalam ruangan. Mereka juga menemukan bahwa kekuatan disinfektan ini dapat dipertahankan di dalam ruangan, jika ruangan berventilasi baik.
Namun pada saat mereka menemukannya, perawatan di udara terbuka diganti dengan antibiotik, sehingga udara segar tidak dilibatkan dalam pengendalian infeksi dan desain rumah sakit lagi.
Masker bedah juga pernah dipakai satu abad yang lalu, tetapi karena masker tersebut tidak menutup seluruh area di sekitar wajah, masker dianggap hanya menawarkan perlindungan parsial dan tidak menyaring partikel udara kecil.
Inilah sebabnya mengapa karyawan rumah sakit Boston kemudian membuat masker improvisasi, yang terbuat dari lima lapis kain kasa. Kerangkanya dipasang di wajah, mencegah filter menyentuh mulut dan lubang hidung, dan diganti setiap dua jam. Selain itu, mereka juga sangat menjaga kebersihan diri dan lingkungan di rumah sakit.
Faktor lain yang berkontribusi terhadap tingkat infeksi dan kematian yang relatif rendah adalah kecepatan pendirian rumah sakit terbuka sementara.
“Jika 1918 lain datang atau krisis COVID-19 semakin memburuk, sejarah menunjukkan bahwa mungkin lebih bijaksana untuk mendirikan tenda dan bangsal pra-pabrikasi yang siap menangani sejumlah besar kasus sakit parah. Banyak udara segar dan sedikit sinar matahari mungkin bisa membantu juga," tutur Hobday.