Kenapa Harus Takut dengan Virus Corona?

Ilustrasi virus corona/COVID-19/masker.
Sumber :
  • Freepik/freepik

VIVA – Virus corona COVID-19 masih menggemparkan publik dunia saat ini. Bahkan wabah ini kini telah ditetapkan sebagai pandemi oleh WHO. Banyak acara-acara yang mengundang keramaian ditunda atau dibatalkan, karyawan diminta bekerja dari rumah, beberapa universitas memberlakukan belajar secara online, sekolah-sekolah ditutup, bahkan beberapa kota diisolasi.

Harvey Moeis Klaim Dana CSR Smelter Swasta Dipakai untuk Bantuan COVID-19

Angka kasus yang semakin bertambah membuat masyarakat cemas. Psikolog dan pakar kesehatan masyarakat mengatakan kecemasan publik tinggi itu disebabkan karena ketidakberdayaan.

“Ketika kita merasa, ‘Ya Tuhan ada sesuatu yang baru di situ’ itu membuat kita sangat ketakutan,” kata David Roperik, seorang pakar komunikasi risiko seperti dikutip laman USA Today.

Jangan Tertipu! Waspada Penipuan Berkedok Lowongan Kerja Remote, Ini Ciri-Cirinya

“Ketika kita tidak mengerti tentang sesuatu, membuat kita merasa tidak tahu apa yang dapat melindungi kita dari hal tersebut, membuat kita tidak berdaya, takut,” lanjutnya.

Direktur Eksekutif di American Psychological Association, Lynn Bufka pun menilai, ini adalah penyakit yang baru dan banyak orang masih belum tahu akan separah apa penyakit ini.

Kedekatan Trump dan Putin Bocor, Sering Teleponan hingga Kirim Alat Tes COVID-19

“Dan imbauan untuk mencegah penyebaran virus dengan mencuci tangan yang baik masih belum cukup. Lagipula bagaimana kamu bisa tahu kalau cuci tangan kamu sudah baik dan benar?” jelasnya.

Inilah mengapa orang-orang banyak membeli tisu toilet, tisu, masker, serta hand sanitizer. Mereka merasa setidaknya melakukan suatu tindakan untuk pencegahan.

Hal yang membuat perasaan cemas salah satunya adalah kurang informasi. Virus corona dinilai masih baru dan ada banyak pertanyaan tentang penyakit yang ditimbulkannya. Kebanyakan orang kurang informasi yang cukup dan tidak mengenal sesorang yang memilikinya. Para ahli mengatakan itu penting.

“Kita mengetahui flu, kita secara pribadi pernah mengalaminya, sehingga membuat flu menjadi tidak menakutkan," kata Bufka lagi.

“Kita tahu bagaimana harus bertindak. Kita sebagai manusia mendapat informasi, mendengar dari orang lain dan mengambil itu semua. Tapi pengalaman yang dirasakan oleh diri sendiri menjadikannya berbeda,” katanya lagi.

Ketika angka kasus COVID-19 semakin bertambah, orang semakin belajar dan mendapat informasi mengenai hal tersebut, dan itu membuat mereka merasa sedikit lebih tenang.

“Kami sudah mengisi beberapa ruang yang kosong. Kami tahu ini akan berefek kepada siapa, akan menginfeksi siapa, siapa yang rentan dan kurang rentan. Pengetahuan itulah yang menjadi disinfektan," lanjut David Roperik.

David Clark, seorang psikolog dan penulis mengatakan bahwa bahaya COVID-19 itu menjadi sebuah ketakutan ketika datangnya secara bertahap.

“Ketika bahaya atau ancaman datangnya secara bertahap, itu cenderung lebih menakutkan dibanding yang datangnya secara tiba-tiba. Kita pertama melihat berita tentang virus itu dari China, sebuah tempat yang jauh. Tapi kemudian berminggu-minggu secara perlahan mulai mendekat,” jelas Clark.

Setiap orang memiliki reaksi yang berbeda menyikapi penyebaran virus ini. Ada yang mencuci tangan dengan durasi seperti dua kali putaran lagu Happy Birthday, ada yang menimbun bahan makanan dan obat-obatan seolah kiamat sudah dekat.

Pakar kesehatan juga mengatakan peran media sangat penting. Informasi yang diberikan harus akurat dan tidak mengeksploitasi ketakutan orang. Clark berkata ketika berita baik dan buruk dicampur, masyarakat dapat memilah berita mana yang ingin diambil.

Berita baiknya bagi kebanyakan orang, penyakit yang disebabkan oleh virus corona ini umumnya memiliki gejala ringan seperti batuk dan demam. Berita buruknya, penyakit ini masih baru, sangat menular dan hingga saat ini belum ada vaksinnya. Bagi lansia dan orang yang imun tubuhnya lemah atau memiliki penyakit kronis, dapat menderita penyakit hingga parah sekali atau bahkan meninggal.

Banyaknya informasi antara berita baik dan berita buruk membuat publik seolah merasa mendapat pesan yang beragam. Berita mengatakan bahwa sebagian besar orang yang terkena COVID-19 seperti terkena gejala flu. Namun kemudian orang-orang melihat pihak militer membantu di zona karantina.

Jika risiko bagi kebanyakan orang adalah seperti gejala flu, mengapa rasanya seperti dunia ingin kiamat?

Menurut Bufka, orang-orang juga harus mencari berita sesuai kebutuhannya saja, jangan berlebihan.

“Yang terbaik adalah menemukan beberapa sumber terpercaya, media yang memberikan berita yang akurat dan berhati-hatilah dengan sosial media. Kamu tidak harus melulu mencari berita, secukupnya saja,” Kata Bufka.

Ia juga mengatakan bahwa pada saat-saat seperti sekarang, penting sekali untuk memperhatikan keseimbangan emosi.

Menyikapi tindakan masyarakat yang memborong kebutuhan rumah tangga, Roperik mengatakan bahwa hal itu penting. Karena hal tersebut penting untuk masyarakat di tengah ketidakpastian saat ini. Tapi perlu diingat, kekhawatiran yang terus menerus bisa menimbulkan stres jangka panjang yang dapat menurunkan imun tubuh.

“Semakin kita khawatir, semakin rentan kita terkena penyakit ini. Tapi semakin sedikit kita khawatir dengan cara membeli tisu toilet yang terlihat konyol, semakin kita mengurangi kekhawatiran kita dan meminimalkan efek pada tubuh kita.”

Penulis: Dion Yudhantama

Virus Corona atau Covid-19.

How an App Became Indonesia's Essential Weapon Against Covid-19

Indonesia once faced the challenges of the Covid-19 pandemic. As part of an effort to provide early prevention it, can be done by an app.

img_title
VIVA.co.id
4 November 2024