Obat Kanker Masih Mahal, Banyak Penyintas Stres Kehabisan Biaya
- U-Report
VIVA – Hingga kini, kanker masih menjadi salah satu penyakit tertinggi yang terjadi di Indonesia. Bahkan jumlahnya penderitanya juga terus meningkat.
Berdasarkan data Riset Kesehatan Dasar Kementerian Kesehatan RI, prevalensi tumor/kanker di Indonesia menunjukkan adanya peningkatan dari 1.4 per 1.000 penduduk di tahun 2013 menjadi 1,79 per 1000 penduduk pada tahun 2018.
Di tengah terus meningkatnya jumlah penderita, salah satu masalah nyata yang dihadapi oleh penyintas kanker adalah mahalnya harga obat-obatan. Ini lantaran sebagian besar sebagian besar obat kanker masih diimpor.
Ketua Umum Cancer Information and Support Center, Aryanthi Baramuli Putri mengungkapkan, para penyintas kanker umumnya rawan dilanda stres akibat terlalu sering memikirkan penyakit, biaya pengobatan, atau masalah emosional lainnya. Alhasil, mereka sangat rawan menghadapi masalah psikososial.
"Pengobatan kanker yang mahal dan harus konsisten, harus menjalani kemoterapi, membeli obat, selain itu pejuang kanker juga tidak bisa beraktivitas seperti biasa. Untuk itu para pejuang kanker membutuhkan dukungan psikososial dari orang-orang sekitar," kata Aryanthi dalam keterangan tertulis yang diterima VIVA, Senin, 24 Februari 2020.
Belakangan sejumlah produsen farmasi dalam negeri, juga terus berupaya untuk memproduksi obat kanker. Hal ini penting dilakukan agar para penyintas kanker bisa mendapatkan obat yang dibutuhkan dengan harga yang lebih terjangkau.
“Penyintas kanker harus mendapatkan pengobatan yang terbaik. Untuk itu kami akan selalu mendukung kegiatan positif bagi para penyintas kanker, selain itu kami akan terus berinovasi salah satunya untuk obat onkologi,” ungkap Presiden Direktur PT Ferron Par Pharmaceuticals, Krestijanto P Krestijanto, yang juga turut memproduksi obat kanker di dalam negeri.
Selain itu, Aryanthi kembali menambahkan, bahwa peran komunitas seperti CISC juga menjadi penting sebagai wadah berbagai antara penyintas kanker. Dengan demikian, mereka bisa bertukar informasi dan juga saling mendukung.
"Peran komunitas sebagai media para penyintas dan pejuang saling sharing, berkumpul, dan berbagi. Itu bisa membantu pejuang kanker lebih tenang dan semangat menjalani pengobatan," imbuh Aryanthi.